Bab 4 Perjanjian
by Syavinka
19:28,Aug 28,2023
Terdengar bunyi bel yang terus berdering. Mengganggu seorang pria yang sedang berendam di dalam bathup. Pria itu terpaksa bangkit dan memakai handuk kimononya. Dengan bulir air yang membasahi rambutnya, Bryan berjalan ke arah pintu. Ia melihat ke arah monitor dan tampaklah seorang wanita yang tak asing.
Bryan mengernyitkan dahinya dan menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam lewat sepuluh menit. Wanita itu tampak pucat seperti saat pertama kali mereka bertemu. Bryan membuka kunci pagar dan membiarkan Angeline masuk ke dalam rumahnya.
Angeline masih berada di depan pintu, ia menunggu Bryan membukakan pintu. Hingga beberapa detik kemudian, Bryan membuka pintunya dengan sudah berganti pakaian. Kaos oblong berwarna hitam dan celana training hitam.
“Masuklah,” ucap Bryan tanpa bertanya. Angeline masuk ke dalam dan duduk di ruang tamu.
“Teh? Kopi?” tanya Bryan lagi dan Angeline hanya menggelengkan kepalanya.
“Teh hangat saja, tunggu sebentar di sana.”
Bryan tetap membuatkan teh untuk Angeline. Padahal Angeline hendak menolak namun ucapannya kurang cepat dengan langkah Bryan yang berjalan ke arah dapur.
Angeline yang sedang menunggu melihat ke sekelilingnya. Ia baru sadar jika di rumah itu sama sekali tak ada art bahkan satpam sekali pun. Semuanya serba otomatis dan sangat canggih. Memang beda rumah orang kaya, pikir Angeline.
Tak berapa lama, Bryan datang dengan dua cangkir teh hangat dan beberapa potong roti hangat. Angeline meminum tehnya dengan terus menundukkan kepalanya. Memakan sedikit roti yang khas aromanya.
“Waktuku sangat berharga, jadi apa yang ingin kau katakan hingga datang selarut ini setelah menolak penawaranku?” tanya Bryan tanpa basa-basi. Ia sangat tidak suka membuang waktu.
Angeline menaruh cangkir tehnya, menelan roti yang ada di mulutnya dan menatap Bryan dengan mata yang sembab.
“Apa ... Bapak bisa memberikan aku pekerjaan, selain yang anda bicarakan waktu itu?” tanya Angeline penuh harap.
“Tidak ada,” jawab Bryan tanpa berpikir.
“Apa pun akan aku lakukan, aku sedang membutuhkan uang yang cukup banyak. Tapi, aku pikir penawaran bapak waktu itu terlalu sulit untuk aku lakukan,” ucap Angeline dengan menahan air matanya.
“Berapa yang kau butuhkan? Aku akan memberikannya padamu, anggap saja ... sebagai belas kasih?” ucap Bryan dengan nada yang angkuh dan sombong. Tak ada empati sama sekali di sana.
Angeline terus menahan tangis dan emosinya. Bibirnya bergetar menahan amarah karena merasa tersinggung dengan ucapan Bryan barusan.
“Maaf, sepertinya aku salah karena sudah datang ke sini. Pikiranku kacau dan tak bisa melihat mana yang benar atau tidak, permisi.” Angeline bangkit dari tempat duduknya dan berjalan hendak pergi.
“Seratus juta?” ucap Bryan dan Angeline berhenti berjalan.
“Dua ratus? Lima ratus? Satu miliyar? Aku akan memberikannya padamu. Dengan satu syarat, tidak tapi dua syarat. Tak hanya uang, aku bisa memberikan apa saja yang kau mau,” lanjut Bryan.
Angeline sudah tak tahan lagi, ia berbalik dan menatap tajam ke arah Bryan dengan air mata yang menetes di pipinya.
“Apa segitu mudahnya bapak membayar orang untuk memenuhi keinginan bapak? Kenapa harus aku? Aku pikir, di luar sana banyak wanita yang akan rela melakukannya bahkan tanpa dibayar sekali pun. Aku hanya butuh pekerjaan, bukan mengemis,” ucap Angeline penuh dengan emosi.
“Jika aku meminta wanita lain untuk melakukannya tanpa syarat, maka aku akan sulit untuk mengontrolnya. Kau berhutang padaku, maka aku pikir kau akan melakukan apa saja untuk membayar hutangmu. Kau tau, aku hanyalah seorang pebisnis yang masih memikirkan keuntungan dan kerugian apa yang akan aku dapatkan untuk membuat kesepakatan denganmu.”
“Bapak ... hanya ingin memanfaatkan kekuranganku?”
“Hmm ... aku hanya memikirkan hal yang menguntungkan untuk kita berdua. Kau butuh uang, maka aku akan memberikannya padamu. Berapa pun itu. Sedangkan aku, hanya ingin kau melahirkan anakku. Tentunya dengan status pernikahan yang sah di mata hukum.”
Angeline terdiam, ia tertunduk dengan banyak pikiran. Ia tahu jika ini adalah kesempatan yang tak akan datang dua kali. Jika ia menolaknya lagi, mungkin Bryan tak akan menawarkannya untuk yang ketiga kalinya.
Situasi yang sangat mendesak ini membuat Angeline sangat dilema. Ia benar-benar bingung. Di satu sisi, ia ingin sekali membebaskan adiknya dan menolong ibunya. Tapi di sisi lain, harga dirinya terasa seperti sedang diinjak-injak hanya karena dirinya butuh uang.
“Namamu Angeline Felicia bukan?” tanya Bryan dan berhasil membuat Angeline terkejut. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Bryan yang menatapnya sejak tadi tanpa ekspresi.
“Aku tau adikmu sedang di penjara dan kau butuh uang untuk membebaskannya. Bahkan hari ini, ibumu harus di operasi karena penyakitnya semakin bertambah parah,” lanjut Bryan dan meminum tehnya dengan sangat santai.
“Bagaimana ... bapak bisa tau?”
“Kau pikir, aku akan memilih asal siapa yang akan menjadi ibu dari anakku? Setidaknya kau memiliki paras yang cantik dan latar pendidikan yang bagus. Kau dapat beasiswa S1 bukan? Itu berarti kau pintar, atau memang rajin belajar. Kau juga tidak punya penyakit serius, selain anemia karena kelelahan. Aku mencari informasi tentangmu setelah kau pergi dari sini malam itu.”
Bryan menaruh cangkir tehnya, ia teringat saat dirinya langsung menelpon supirnya dan meminta nomor telepon Angeline yang telah mengantarkannya. Lalu meminta sekretarisnya untuk mencari informasi tentang Angeline hingga detik ini.
“Aku bahkan tau, bahwa kau berniat bunuh diri dua jam yang lalu. Apa kau pikir, jika kau mati maka ibumu akan langsung sembuh? Atau adikmu langsung terbebas begitu saja? Mereka akan menyalahkanmu yang melarikan diri dan memilih mati dengan tenang. Adikmu akan membencimu selama berada di dalam penjara. Dan ibumu ... akan mati kesakitan karena tak bisa menjalani operasi.”
Bryan mengambil sebuah dokumen dan berjalan mendekat ke arah Angeline. Ia memberikan dokumen itu pada Angeline.
“Jika kau mau bekerja denganku, baca dokumen ini. Jika setuju dengan penawaran yang aku berikan, tanda tanganilah. Maka besok ibumu akan langsung dioperasi, dan adikmu langsung bebas. Dua masalah akan selesai, bahkan sebelum kau menjadi istriku. Bagaimana?”
Bryan menatap dengan tajam, auranya yang angkuh dan penuh dengan percaya diri membuat Angeline sedikit kesal. Matanya menunjukkan amarah dan kebencian pada Bryan. Karena ia telah mengetahui kelemahannya. Dan tau apa yang sangat diinginkan oleh Angeline.
Angeline tak punya pilihan lain, ini adalah satu-satunya cara untuk bisa menyelamatkan ibu dan adiknya. Tanpa sepatah kata, Angeline mengambil dokumen itu. Ia bahkan tak membacanya sedikit pun dan langsung memberikan tanda tangannya.
“Kau tidak membacanya? Mungkin saja aku menipumu,” tanya Bryan heran.
“Anda bilang, anda membutuhkan aku untuk menjadi istri bapak dan melahirkan anak bapak bukan? Aku yakin anda tidak akan menipuku. Pastikan saja untuk menepati janji anda,” ucap Angeline yang telah putus asa.
“Oke, kau boleh pulang dan temani ibumu. Aku akan memberikan kau waktu satu minggu untuk bersama dengan keluargamu sebelum kita memulai kontrak kita.”
“Satu syarat lagi,” ucap Bryan dan membuat Angeline mengernyitkan dahinya.
“Berhentilah memanggilku bapak. Panggil saja namaku, Bryan.”
Bryan mengernyitkan dahinya dan menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam lewat sepuluh menit. Wanita itu tampak pucat seperti saat pertama kali mereka bertemu. Bryan membuka kunci pagar dan membiarkan Angeline masuk ke dalam rumahnya.
Angeline masih berada di depan pintu, ia menunggu Bryan membukakan pintu. Hingga beberapa detik kemudian, Bryan membuka pintunya dengan sudah berganti pakaian. Kaos oblong berwarna hitam dan celana training hitam.
“Masuklah,” ucap Bryan tanpa bertanya. Angeline masuk ke dalam dan duduk di ruang tamu.
“Teh? Kopi?” tanya Bryan lagi dan Angeline hanya menggelengkan kepalanya.
“Teh hangat saja, tunggu sebentar di sana.”
Bryan tetap membuatkan teh untuk Angeline. Padahal Angeline hendak menolak namun ucapannya kurang cepat dengan langkah Bryan yang berjalan ke arah dapur.
Angeline yang sedang menunggu melihat ke sekelilingnya. Ia baru sadar jika di rumah itu sama sekali tak ada art bahkan satpam sekali pun. Semuanya serba otomatis dan sangat canggih. Memang beda rumah orang kaya, pikir Angeline.
Tak berapa lama, Bryan datang dengan dua cangkir teh hangat dan beberapa potong roti hangat. Angeline meminum tehnya dengan terus menundukkan kepalanya. Memakan sedikit roti yang khas aromanya.
“Waktuku sangat berharga, jadi apa yang ingin kau katakan hingga datang selarut ini setelah menolak penawaranku?” tanya Bryan tanpa basa-basi. Ia sangat tidak suka membuang waktu.
Angeline menaruh cangkir tehnya, menelan roti yang ada di mulutnya dan menatap Bryan dengan mata yang sembab.
“Apa ... Bapak bisa memberikan aku pekerjaan, selain yang anda bicarakan waktu itu?” tanya Angeline penuh harap.
“Tidak ada,” jawab Bryan tanpa berpikir.
“Apa pun akan aku lakukan, aku sedang membutuhkan uang yang cukup banyak. Tapi, aku pikir penawaran bapak waktu itu terlalu sulit untuk aku lakukan,” ucap Angeline dengan menahan air matanya.
“Berapa yang kau butuhkan? Aku akan memberikannya padamu, anggap saja ... sebagai belas kasih?” ucap Bryan dengan nada yang angkuh dan sombong. Tak ada empati sama sekali di sana.
Angeline terus menahan tangis dan emosinya. Bibirnya bergetar menahan amarah karena merasa tersinggung dengan ucapan Bryan barusan.
“Maaf, sepertinya aku salah karena sudah datang ke sini. Pikiranku kacau dan tak bisa melihat mana yang benar atau tidak, permisi.” Angeline bangkit dari tempat duduknya dan berjalan hendak pergi.
“Seratus juta?” ucap Bryan dan Angeline berhenti berjalan.
“Dua ratus? Lima ratus? Satu miliyar? Aku akan memberikannya padamu. Dengan satu syarat, tidak tapi dua syarat. Tak hanya uang, aku bisa memberikan apa saja yang kau mau,” lanjut Bryan.
Angeline sudah tak tahan lagi, ia berbalik dan menatap tajam ke arah Bryan dengan air mata yang menetes di pipinya.
“Apa segitu mudahnya bapak membayar orang untuk memenuhi keinginan bapak? Kenapa harus aku? Aku pikir, di luar sana banyak wanita yang akan rela melakukannya bahkan tanpa dibayar sekali pun. Aku hanya butuh pekerjaan, bukan mengemis,” ucap Angeline penuh dengan emosi.
“Jika aku meminta wanita lain untuk melakukannya tanpa syarat, maka aku akan sulit untuk mengontrolnya. Kau berhutang padaku, maka aku pikir kau akan melakukan apa saja untuk membayar hutangmu. Kau tau, aku hanyalah seorang pebisnis yang masih memikirkan keuntungan dan kerugian apa yang akan aku dapatkan untuk membuat kesepakatan denganmu.”
“Bapak ... hanya ingin memanfaatkan kekuranganku?”
“Hmm ... aku hanya memikirkan hal yang menguntungkan untuk kita berdua. Kau butuh uang, maka aku akan memberikannya padamu. Berapa pun itu. Sedangkan aku, hanya ingin kau melahirkan anakku. Tentunya dengan status pernikahan yang sah di mata hukum.”
Angeline terdiam, ia tertunduk dengan banyak pikiran. Ia tahu jika ini adalah kesempatan yang tak akan datang dua kali. Jika ia menolaknya lagi, mungkin Bryan tak akan menawarkannya untuk yang ketiga kalinya.
Situasi yang sangat mendesak ini membuat Angeline sangat dilema. Ia benar-benar bingung. Di satu sisi, ia ingin sekali membebaskan adiknya dan menolong ibunya. Tapi di sisi lain, harga dirinya terasa seperti sedang diinjak-injak hanya karena dirinya butuh uang.
“Namamu Angeline Felicia bukan?” tanya Bryan dan berhasil membuat Angeline terkejut. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Bryan yang menatapnya sejak tadi tanpa ekspresi.
“Aku tau adikmu sedang di penjara dan kau butuh uang untuk membebaskannya. Bahkan hari ini, ibumu harus di operasi karena penyakitnya semakin bertambah parah,” lanjut Bryan dan meminum tehnya dengan sangat santai.
“Bagaimana ... bapak bisa tau?”
“Kau pikir, aku akan memilih asal siapa yang akan menjadi ibu dari anakku? Setidaknya kau memiliki paras yang cantik dan latar pendidikan yang bagus. Kau dapat beasiswa S1 bukan? Itu berarti kau pintar, atau memang rajin belajar. Kau juga tidak punya penyakit serius, selain anemia karena kelelahan. Aku mencari informasi tentangmu setelah kau pergi dari sini malam itu.”
Bryan menaruh cangkir tehnya, ia teringat saat dirinya langsung menelpon supirnya dan meminta nomor telepon Angeline yang telah mengantarkannya. Lalu meminta sekretarisnya untuk mencari informasi tentang Angeline hingga detik ini.
“Aku bahkan tau, bahwa kau berniat bunuh diri dua jam yang lalu. Apa kau pikir, jika kau mati maka ibumu akan langsung sembuh? Atau adikmu langsung terbebas begitu saja? Mereka akan menyalahkanmu yang melarikan diri dan memilih mati dengan tenang. Adikmu akan membencimu selama berada di dalam penjara. Dan ibumu ... akan mati kesakitan karena tak bisa menjalani operasi.”
Bryan mengambil sebuah dokumen dan berjalan mendekat ke arah Angeline. Ia memberikan dokumen itu pada Angeline.
“Jika kau mau bekerja denganku, baca dokumen ini. Jika setuju dengan penawaran yang aku berikan, tanda tanganilah. Maka besok ibumu akan langsung dioperasi, dan adikmu langsung bebas. Dua masalah akan selesai, bahkan sebelum kau menjadi istriku. Bagaimana?”
Bryan menatap dengan tajam, auranya yang angkuh dan penuh dengan percaya diri membuat Angeline sedikit kesal. Matanya menunjukkan amarah dan kebencian pada Bryan. Karena ia telah mengetahui kelemahannya. Dan tau apa yang sangat diinginkan oleh Angeline.
Angeline tak punya pilihan lain, ini adalah satu-satunya cara untuk bisa menyelamatkan ibu dan adiknya. Tanpa sepatah kata, Angeline mengambil dokumen itu. Ia bahkan tak membacanya sedikit pun dan langsung memberikan tanda tangannya.
“Kau tidak membacanya? Mungkin saja aku menipumu,” tanya Bryan heran.
“Anda bilang, anda membutuhkan aku untuk menjadi istri bapak dan melahirkan anak bapak bukan? Aku yakin anda tidak akan menipuku. Pastikan saja untuk menepati janji anda,” ucap Angeline yang telah putus asa.
“Oke, kau boleh pulang dan temani ibumu. Aku akan memberikan kau waktu satu minggu untuk bersama dengan keluargamu sebelum kita memulai kontrak kita.”
“Satu syarat lagi,” ucap Bryan dan membuat Angeline mengernyitkan dahinya.
“Berhentilah memanggilku bapak. Panggil saja namaku, Bryan.”
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved