Bab 8 Part 8. Meragukan

by Dinda Tirani 18:27,Aug 09,2023
“Iya iya, cowok. Tapi gini deh mbak, kalau emang ada yang deketin dia, ngajakin dia nikah, atau apapun itulah, harusnya kan dia bilang sama aku. Aku ini kan cowoknya, dengan dia nggak bilang, artinya dia nggak nganggep aku dong? Dia yang nggak pengen nerusin hubungan sama aku dong kalau kayak gitu?”
“Kalau itu aku juga nggak tahu Ris. Kamu yang lebih tahu cewekmu itu kayak gimana, dan dari situ, harusnya kamu bisa, yaah minimal nebak lah jalan pikiran cewek kamu tuh arahnya kemana.”
Haris terdiam. Dia ingin membantah, tapi benar juga yang dikatakan oleh Viona. Viona dan Lidya hanya memberikan pendapat mereka, sebagai seorang wanita. Dan kalau memang hal itu benar, ada yang mengganjal pikiran Haris. Kalau memang ada pria lain yang mendekati gadis itu, kenapa dia tidak memberi tahunya? Apakah memang gadis itu lebih memilih laki-laki lain daripada dia? Ataukah, ada kejadian yang membuat gadis itu terpaksa memilih laki-laki lain?
“Mbak, Lid…”
“Iya, kenapa?”
“Hmm, apa mungkin ya, dia berpaling karena terpaksa?”
“Maksud kamu?”
“Ya maksudku, dia ada dalam kondisi dimana harus milih laki-laki itu, dan terpaksa ninggalin aku…”
“Maksudmu dia hamil sama cowok lain?” tanya Viona, to the point.
“Yaa, something like that lah.”
“Haduh Ris, mikirmu jangan kejauhan kayak gitu dong, ngeri. Hmm, tapi, yaa bisa jadi sih, ada kemungkinan kearah sana. Menurutmu gimana Lid?”
“Yaa, gimana yaa. Bisa aja sih kayak gitu mbak.”
“Coba deh kalian sebagai cewek, apa sih hal yang bisa bikin kalian berpaling sebegitu mudahnya, secepat itu, dari cowok yang bener-bener kalian cintai?”
“Ada beberapa hal Ris. Pertama, mungkin yang kamu bilang tadi. Kedua, dijodohin sama orang lain. Ketiga, ada cowok lain yang bener-bener bisa bikin aku yakin sama dia. Nah sekarang pertanyaannya, apa kamu yakin, cewek itu bener-bener cinta sama kamu?” tanya Lidya.
“Eh, maksudmu?”
“Apa kamu yakin dia secinta itu sama kamu, sampai kamu mikir dia ninggalin kamu karena terpaksa?”
“Yaa, yaa yakin lah…” jawab Haris dengan ragu-ragu.
“Tuh, kamu sendiri aja nggak yakin jawabnya Ris.”
Haris terdiam sejenak. Dia merasa tertohok dengan pertanyaan Lidya. Tapi dia seolah dibuat tersadar oleh wanita itu. Benar apa yang ditanyakan Lidya, apakah gadis itu benar-benar mencintainya? Apakah gadis itu meninggalkannya karena terpaksa? Atau jangan-jangan, justru gadis itu lebih mencintai pria lain ketimbang dirinya?
“Pertanyaanku selanjutnya Ris. Seberapa kenal kamu sama cewekmu itu? Seberapa dalam kamu tahu dia? Tahu isi hatinya?”
Haris kembali terdiam. Pertanyaan yang diberikan oleh Lidya ini benar-benar menusuknya. Bukan dalam artian membuatnya sakit, tapi membuatnya tersadar, dan terpaksa mengingat-ingat kembali. Dia membuka lagi memorinya tentang gadis itu. Hampir setiap hari, saat masih pacaran dulu sewaktu kuliah, mereka bersama. Tapi, jika diingat lebih jauh lagi, dia ternyata tidak benar-benar mengetahui dan mengenal gadis itu.
Harispun menggeleng, “Aku nggak tahu Lid, aku nggak tahu apa-apa tentang dia.”
“Aku nggak bener-bener tahu tentang keluarganya. Aku nggak bener-bener tahu tentang apa yang dia suka dan nggak suka. Aku nggak pernah bener-bener tahu pergaulannya seperti apa. Dia tahu persis apa aja isi handphone dan laptopku, tapi aku nggak tahu apa-apa punya dia. Aku nggak tahu dia Lid.”
Lidya dan Viona terdiam. Sebenarnya masih ada beberapa pertanyaan dari Lidya, tapi dia tahan. Dia memberikan waktu kepada Haris untuk berpikir, dan merenung. Memberikan waktu kepada Haris untuk memahami situasi yang sebenarnya.
Haris sendiri, sebelumnya tak pernah mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti itu, baik dari dirinya sendiri, maupun dari teman-temannya. Kali ini, dia seperti baru saja dibangunkan dari tidur panjangnya. Dia benar-benar dibuka matanya tentang gadis yang selama ini membuatnya galau tak berujung.
“Ris, pertanyaan terakhirku, kalau kamu nggak keberatan,” ucap Lidya.
“Apa Lid?” Haris menatap Lidya, langsung di matanya.
“Apa kamu yakin, kamu satu-satunya orang yang spesial untuk cewek itu?”
Haris tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya. Dulu, jika ditanya seperti itu, dia pasti akan dengan yakin menjawab iya. Bahkan mungkin akan marah kepada yang bertanya. Tapi kali ini dia sendiri malah meragukannya. Meragukan cinta dari gadis itu, meragukan hubungan yang dia jalani dengan gadis itu, meragukan 3 tahun yang dia habiskan dengan gadis itu.
Melihat senyum Haris, membuat Lidya dan Viona ikut tersenyum.
“Kalau gitu, nggak perlu kamu pikirin lagi. Atau untuk memastikannya, kamu cari dia, untuk yang terakhir kalinya. Untuk mendapat kepastian. Bukan tentang kepastian hubungan kalian, tapi kepastian kenapa dia ninggalin kamu. Setelah itu, ya sudah, lupain. Kubur dalam-dalam. Waktunya kamu buat move on.”
“Iya, makasih ya Lid, mbak. Kalian bener-bener ngebuka mataku sekarang. Mataku udah ketutup sama cinta buta, yang bikin aku membenarkan semua yang aku pikirin. Entahlah, aku perlu cari dia lagi atau nggak, aku nggak tahu harus nyari kemana, karena jujur, selama aku ngunjungin dia, dia nggak pernah ngajak aku ke kost-kostannya.”
“Lha terus, kalian kemana dong?”
“Yaa, nginep di hotel mbak, hehehe.”
“Hadeeeh. Ya ya ya, paham lah paham, hahaha.”
Mereka bertiga pun kini tertawa. Haris juga. Dia bisa tertawa lepas. Menertawakan kebodohannya selama ini. Semuanya memang belum pasti, semua masih kemungkinan. Tapi kemungkinan itu rasanya mendekati 100%, hanya tinggal melihat kondisi yang sebenarnya saja. Tapi Haris rasa, itu sudah cukup. Setahun lebih menghilang tanpa kabar, apalagi yang harus dia cari? Tidak ada.
‘Bener yang dibilang Lidya. Sekarang wakutnya aku buat move on. Nggak perlu mikirin dia lagi. Yang penting sekarang, aku kerja yang bener. 2 bulan lagi juga bakal dipindah kan? Siapa tahu aku ketemu jodoh disana.’
Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

186