Bab 7 Part 7. Move On

by Dinda Tirani 18:23,Aug 09,2023
Jika kita mengerjakan sesuatu yang kita sukai, atau paling tidak mengerjakannya dengan senang, maka pekerjaan itu tak akan terasa berat, dan waktupun akan berlalu dengan cepat. Itulah yang kini dirasakan oleh Haris. Tak terasa sudah sebulan dia bekerja. Semua yang perlu dia pelajari dalam waktu sebulan ini, sudah bisa dia kuasai semua. Tentu saja hal itu tak lepas dari bantuan Viona, yang selalu siap jika Haris menanyakan soal pekerjaan di rumah.
Apalagi dengan suasana kantor yang sangat menyengangkan. Memang di kantor ini tak terlalu mengenal istilah senior junior. Semua dipandang sama, asalkan kerjaan mereka bisa diselesaikan dengan baik. Tidak ada senior yang dengan seenaknya menyuruh junior untuk melakukan hal-hal di luar pekerjaan. Tidak ada junior yang juga seenaknya bekerja meskipun memiliki keluarga yang posisinya sudah tinggi di perusahaan ini. Semua sadar diri. Dan itu menciptakan suasana kerja yang menyenangkan.
Di kantor ini juga kebanyakan karyawannya cepat bergaul dan mudah akrab, karena itulah Haris sudah langsung merasa seperti sudah sangat lama bekerja disini. Hanya saja yang sedikit menganggunya, beberapa orang, terutama pak Doni dan teman-temannya sesama karyawan baru, lebih sering memanggilnya ‘Jepang’ daripada nama aslinya. Gurauannya di ruang rapat kemarin rupanya berbekas di kepala mereka. Tapi meskipun begitu, Haris tak keberatan, malah geli sendiri.
Haris juga sudah sangat akrab dengan Viona dan Lidya yang seruangan dengannya. Hari-hari di kantor tak lagi melulu hanya membahas pekerjaan. Jika pekerjaan sudah selesai, mereka membahas hal lain, soal kehidupan pribadi mereka. Dari situ Haris dan Viona tahu kalau beberapa hari yang lalu Lidya baru saja jadian dengan pria yang selama ini gigih mengejarnya. Lidya juga sudah mentraktir mereka, hitung hitung sebagai pajak jadian.
Hari sudah sore, Haris dengan Viona dan Lidya masih berada di ruangan mereka. Pekerjaan mereka sudah selesai dari tadi, dan kini mereka menunggu waktu pulang dengan mengorek cerita kehidupan Haris. Karena merasa sudah sangat dekat dan nyaman dengan kedua wanita itu, Harispun menceritakan beberapa hal tentang dirinya, termasuk gadis yang membuatnya galau setahun belakangan ini.
“Jadi setelah terakhir kamu tengok kesini, kalian langsung lost contact gitu Ris?” tanya Viona.
“Iya mbak. Sepulang aku dari sini, aku hubungi dia mau ngabarin kalau udah sampai, tapi nomernya nggak aktif. Kupikir HPnya mati. Beberapa jam kemudian aku hubungi lagi, tetep nggak aktif. Terus aku cek sosmednya dia, eh nggak tahunya semua udah non aktif, satupun nggak ada yang tersisa.”
Haris sudah memanggil Viona mbak karena meskipun masih di kantor, sudah tidak ada lagi urusan dengan pekerjaan, lagipula Viona sendiri yang memintanya.
“Kok bisa gitu ya? Apa pas kalian terakhir ketemu itu, kalian ada masalah? Ribut-ribut gitu?”
“Nggak ada mbak, aku merasa semuanya baik-baik aja. Dia bahkan nganterin aku ke stasiun, dan pas kita mau pisah, dia masih senyum senyum aja. Yaa pokoknya masih kayak biasanya lah, nggak ada yang berubah.”
“Mungkin ada sesuatu yang nggak kamu sadari Ris,” sahut Lidya.
“Sesuatu apa Lid?”
“Yaa nggak tahu. Mungkin dari selama kamu disini, ada pembicaraan kalian yang bikin dia jadi kayak gitu, yang kamu nggak sadar itu.”
“Hmm, apa yaa. Kayaknya nggak ada deh. Kita tuh beneran kayak biasanya, semua normal-normal aja.”
“Kalian seumuran Ris?” tanya Viona.
“Iya mbak.”
“Waktu kalian ketemu itu, kalian bahas tentang nikah nikah gitu nggak?”
“Nggak ada sih mbak. Nggak ada omongan kearah sana.”
“Kalian udah berapa lama jadian? Sampai saat itu?”
“Udah 3 tahun mbak, dari sejak kami kuliah. Terus pas lulus, dia kan langsung keterima kerja, sedangkan aku masih nganggur setahunan.”
“Hmm sorry Ris, agak vulgar. Kalian, ngeseks?”
“Iya.” Haris mengangguk. Dia merasa tak perlu canggung lagi, mereka sudah sama-sama dewasa.
“Waktu kalian ngeseks pas terakhir ketemu itu, gimana rasanya?”
“Rasanya? Maksudnya?”
“Gini, bukan gimana rasa ngeseksnya, tapi lebih ke, hmm apa yaa, feelnya. Kamu ngerasa dapat feelnya nggak waktu itu? Atau menurut kamu, dia dapat feelnya nggak?”
Haris terdiam, tak langsung menjawab. Dia mencoba mengingat-ingat kembali waktu terakhir bersama gadis itu. Apa saja yang mereka lakukan, dan apa saja yang dia rasakan.
“Hmm, kayaknya, agak beda sih mbak. Gimana ya, mungkin bisa dibilang, dia agak dingin. Tapi waktu itu aku nggak terlalu ngeh soal itu sih.”
Viona menatap Lidya. Sepertinya mereka sepemikiran.
“Gini ya Ris, ini mungkin lho. Cewekmu itu ngerasa kalau kalian itu harusnya udah waktunya nikah, apalagi hubungan kalian udah sejauh itu, tapi ternyata kamu nggak ada bahas kearah sana. Mungkin sebenarnya dia berharap waktu itu kamu membahasnya. Ya meskipun nggak harus nikah saat itu juga, karena kan kamu emang belum kerja, tapi siapa tahu, di tempat kerjanya, atau di lingkungannya dia, ada orang lain yang deketin dia, dan menyatakan keseriusannya, jadi dia butuh kepastian dari kamu,” ucap Viona, mencoba menjelaskan apa yang dia pikirkan.
“Nah, karena waktu ketemu itu dia pengen tahu kepastian dari kamu, tapi kamu nggak membahasnya, dan akhirnya dia milih orang lain. Ini masih kemungkinan sih, tapi aku, sama Lidya, sebagai sesama cewek, pasti punya pikiran kearah sana.”
“Yaa tapi, kalau emang kayak gitu, kenapa dia nggak bahas duluan mbak? Minimal tanya kek.”
“Hey boy, yang cowok itu siapa? Ya harusnya kamulah yang punya inisiatif. Gini ya Ris, siapa tahu ada cowok lain yang ngajakin cewekmu nikah, dan dia belum jawab karena pengen tahu kamu nganggap hubungan kalian itu kayak gimana, tanpa harus dia tanya atau dia pancing. Dan disitu, mungkin dia bisa lihat kalau kamu nggak ada pandangan ke depan dengan hubungan kalian, makanya dia ninggalin kamu,” kali ini Lidya yang menanggapi.
“Tapi hal kayak gitu kan bukan kepentingan satu pihak aja, tapi untuk kedua belah pihak, jadi harusnya dibahas bareng dong, nggak asal ambil keputusan kayak gitu secara sepihak?” Haris masih kukuh dengan pendiriannya.
“Iya emang bener, itu untuk kepentingan 2 pihak. Tapi, masak kamu mau cewekmu yang inisiatif? Kalau misalnya lamaran, siapa yang ngelamar? Cewek apa cowok?”
“Yaa, cowok sih mbak.”
“Terus, kalau pas nikah, siapa yang ngucapin ijabnya? Cewek apa cowok?”

Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

186