Bab 8
by Raessyyy
17:35,Aug 07,2023
Tanpa persetujuan, Alex sudah mengangkatku ke atas meja, membuatku sontak mengalungkan tangan pada lehernya.
Kini kami sedang berada di kelas kosong, entah apa yang ku pikirkan hingga menariknya ke sini. Tadi aku terlalu takut ketahuan oleh Leo hingga tidak dapat berpikir panjang.
Seperti yang ku duga, dia menjauh dan menutup pintu kelas yang berada di belakangnya. Sedangkan aku, masih terdiam kaku, penasaran dengan apa yang akan Alex lakukan.
Langkahnya yang terdengar tegas memenuhi kesunyian ruangan ini. Semakin mendekatiku, jantungku terasa berdegup kencang.
Namun, berbeda dengan suaranya yang terdengar manja dan merajuk. Begitu pun raut wajahnya yang merenggut dengan bibir mengerucut.
"Peluk, mau peluk," ucapnya berulang kali mengingatkanku pada percakapan kami beberapa menit yang lalu.
Astaga, padahal aku belum sempat menyampaikan niatku, Alex sudah lebih dulu membungkamku.
Tingkahnya yang ingin perhatian itu membuatku tidak tega untuk menolaknya.
Walaupun sudah duduk di atas meja, Alex yang berdiri tetap lebih tinggi dariku. Spontan aku sedikit mendongak agar dapat bertatapan dengannya.
Mataku menelaah pakaiannya yang mengenakan hoodie kebesaran, terlihat lebih imut dari biasanya.
Tatapannya yang sayu, membuatku tidak berani untuk menatap Alex lebih lama
Tatapannya yang sayu, membuatku tidak berani untuk menatap Alex lebih lama. Apa mataku salah melihatnya se-tampan ini?
Padahal masih ku ingat tadi pagi Alex memberikan kemejanya padaku.
Membayangkan dia shirtless di hadapanku, tanpa sadar menimbulkan rona merah di pipi.
Ditambah lagi dengan senyumnya yang menyeringai, seakan sudah tidak sabar dengan permintaannya itu.
Setelah berada tepat di hadapanku, dengan perlahan tangannya merambat ke arah pinggangku dan menarik tubuhku mendekat.
Bukan pelukan biasa, tidak ku sangka Alex malah menempelkan kepalanya di dadaku. Badanku menegang, tangan ku pun melayang tidak tahu harus berbuat apa.
Kepalanya mengusel-ngusel pada bagian tubuhku itu seperti sedang mencari posisi yang nyaman. Tangannya di belakang punggungku terasa mencengkram dengan posesif.
"Nat sangat cantik, aku gemetar lagi. Badannya sangat hangat, Rolf, dan dadanya empuk. Apa kau merasakannya juga?" ucap Alex bertanya pada serigalanya.
Seketika itu juga terlihat telinga kucingnya yang ikut bergerak naik turun seakan tengah menikmatinya. Matanya tertutup dengan senyum lebar di bibirnya.
Berbeda denganku yang merasa gugup. Aku sudah sering mendengar ucapan mesumnya, akan tetapi tetap belum terbiasa.
Mendengar pujiannya itu masih saja membuatku tersipu malu. Alex tidak mengucapkannya lewat mulut, meyakinkan ku bahwa dia mengatakannya dengan tulus.
"Ya, Al. Aku jadi tidak sabar menelanjanginya sekarang. Ayolah, lagipula tidak ada orang lain di sini," balas Rolf dengan suara yang lebih serak daripada Alex. Kadang kala dia menggeram di dalam sana.
Alex menggeleng dan memelukku semakin erat. Beberapa kali juga dia menghirup baju ku dengan kuat.
Namun bukan itu yang menjadi fokus ku sekarang. Entah mengapa jawaban Alex selanjutnya membuat darahku mendesir dan senyum tertahan.
"Tidak, aku tidak mau menakutinya, Rolf. Kali ini biarkan dengan caraku, kau selalu gagal! Aku akan melakukannya pelan-pelan," ucapnya yang membuatku salah tingkah.
Perkataannya yang menolak Rolf itu seakan terngiang di kepalaku.
Baru kali ini aku melihat Alex se-tenang ini, biasanya dia akan terburu-buru dan memaksaku melakukannya. Dan jujur saja aku sangat takut dengan sifatnya yang seperti itu.
Sepertinya perlahan Alex berubah menjadi anjing peliharaan yang jinak.
Menggigit bibir dalam, aku jadi merasa bersalah tidak menceritakan tentang Leo padanya. Mengingat aku membutuhkan bantuannya, seharusnya dia lebih dulu mengetahuinya, kan.
Dengan menyusun rencana, akhirnya tanganku bergerak ke arah rambutnya dan mengelusnya lembut.
Telinganya yang sengaja ku sentuh terlihat kegelian dengan kadang membuka dan menutup, membuatku sangat gemas ingin menjahilinya.
"Al, aku ingin meminta bantuanmu, boleh?" tanyaku pelan. Suaraku dibuat sehalus mungkin seperti seorang ibu yang akan membujuk anaknya.
Tanpa berpikir panjang, Alex mengangguk dan berdehem. Bahkan tidak repot-repot untuk membuka mata seakan sudah sangat nyaman dengan posisinya saat ini.
"Kau tahu Leo, kan? Dia pacarku-" ucapku yang terpotong karena tiba-tiba saja Alex bangkit dan menatapku tajam.
Tangannya menumpu pada meja dan wajahnya sangat dekat, tepat berada di hadapanku.
"Mantan! Kau hanya milikku, sayang. Dan aku tidak suka kau menyebut pria lain. Sebel, aku mau marah," balasnya, tidak mau mendengarkan ucapanku selanjutnya.
Badannya setengah berbalik dan wajahnya ditekuk. Kedua tangannya bersedekap dan dia tidak mau menatapku, persis seperti anak kecil yang tengah merajuk.
Kelakuannya terlihat menggemaskan di mataku, mengingatkan pada keponakanku yang baru berusia lima tahun.
Dengan ragu-ragu aku memegang kedua bahunya dan membalikkan badannya lagi.
"Baiklah mantan, calon mantan, terserah mau kau sebut apa. Intinya tolong aku, Al. Hmm bagaimana menjelaskannya, aku diajak ke rumahnya dan aku merasa itu jebakan. Kau mengerti pikiran lelaki, kan? Bantu aku keluar dari situasi ini," lirihku, tidak yakin dengan apa yang ku jelaskan.
Tidak mungkin aku memberitahunya tentang kekuatanku, sudah pasti Alex akan menganggapku aneh dan freak. Entah mengapa aku tidak ingin dia beranggapan seperti itu padaku.
Namun, tidak seperti bayanganku, wajah Alex mengeras dengan gigi yang bergemelatuk. Sekilas dapat kulihat taringnya yang perlahan keluar.
"Akan ku bunuh pria itu!" tegasnya dan tanpa aba-aba berbalik menjauhiku.
Langkahnya terdengar sangat keras dengan tangan yang menggenggam erat. Terlihat urat-urat yang keluar dari sana seakan menyimpan banyak kemarahan.
Dengan cepat aku turun dari meja dan menahan lengannya.
"Al, sebentar. Aku tidak mau dia mati begitu saja. M-maksudku kita bisa membuat rencana yang lebih baik dari itu, aku hanya perlu bantuanmu," pintaku dengan mengedip berulang kali, menggodanya.
Untungnya hal itu berhasil karena Alex berhenti melangkah dan dengan tiba-tiba mendorongku ke dinding. Tubuhnya yang memang besar mengurungku hingga aku tidak bisa melihat apapun selain badannya.
"Hanya aku yang boleh menyentuhmu, aku akan membantumu jika kau mau berjanji hal itu," tekannya, membuat napasku tertahan.
Demi membujuknya, akhirnya aku mengangguk saja dan menuruti semua ucapannya. Lagipula tidak mungkin Alex benar-benar menyukaiku.
Kami sudah sekelas beberapa tahun, akan tetapi dia tidak pernah sekalipun terlihat mendekatiku.
Kali ini pun Alex pasti hanya penasaran padaku.
Melihat gesturku, sontak senyum Alex melebar dan tanpa ku sangka dia mencium kepalaku, lembut. Alex melakukannya dengan lama seakan tengah menghayatinya.
Tubuhku berdiri kaku dan mataku hanya menatap depan, takut untuk bergerak.
Tangannya melingkari leherku dan perlahan mengelus rambutku. Pikiranku terasa kosong dengan degupan jantung yang cepat.
"Jadi apa rencanamu?" tanyanya halus. Walaupun napasnya masih terdengar kasar, Alex menahannya seakan tidak ingin menunjukkan amarahnya padaku.
Spontan senyumku terbit mengetahui Alex akan membantuku.
Aku merasa harus melakukan hal yang setimpal untuk menandingi Leo, oleh karena itu ada satu ide gila yang ku pikirkan saat ini.
Bukan hanya dengan selingkuh, itu sudah terlalu biasa untuk Leo. Aku harus membalasnya dengan lebih kejam.
"Having sex with me."
Kini kami sedang berada di kelas kosong, entah apa yang ku pikirkan hingga menariknya ke sini. Tadi aku terlalu takut ketahuan oleh Leo hingga tidak dapat berpikir panjang.
Seperti yang ku duga, dia menjauh dan menutup pintu kelas yang berada di belakangnya. Sedangkan aku, masih terdiam kaku, penasaran dengan apa yang akan Alex lakukan.
Langkahnya yang terdengar tegas memenuhi kesunyian ruangan ini. Semakin mendekatiku, jantungku terasa berdegup kencang.
Namun, berbeda dengan suaranya yang terdengar manja dan merajuk. Begitu pun raut wajahnya yang merenggut dengan bibir mengerucut.
"Peluk, mau peluk," ucapnya berulang kali mengingatkanku pada percakapan kami beberapa menit yang lalu.
Astaga, padahal aku belum sempat menyampaikan niatku, Alex sudah lebih dulu membungkamku.
Tingkahnya yang ingin perhatian itu membuatku tidak tega untuk menolaknya.
Walaupun sudah duduk di atas meja, Alex yang berdiri tetap lebih tinggi dariku. Spontan aku sedikit mendongak agar dapat bertatapan dengannya.
Mataku menelaah pakaiannya yang mengenakan hoodie kebesaran, terlihat lebih imut dari biasanya.
Tatapannya yang sayu, membuatku tidak berani untuk menatap Alex lebih lama
Tatapannya yang sayu, membuatku tidak berani untuk menatap Alex lebih lama. Apa mataku salah melihatnya se-tampan ini?
Padahal masih ku ingat tadi pagi Alex memberikan kemejanya padaku.
Membayangkan dia shirtless di hadapanku, tanpa sadar menimbulkan rona merah di pipi.
Ditambah lagi dengan senyumnya yang menyeringai, seakan sudah tidak sabar dengan permintaannya itu.
Setelah berada tepat di hadapanku, dengan perlahan tangannya merambat ke arah pinggangku dan menarik tubuhku mendekat.
Bukan pelukan biasa, tidak ku sangka Alex malah menempelkan kepalanya di dadaku. Badanku menegang, tangan ku pun melayang tidak tahu harus berbuat apa.
Kepalanya mengusel-ngusel pada bagian tubuhku itu seperti sedang mencari posisi yang nyaman. Tangannya di belakang punggungku terasa mencengkram dengan posesif.
"Nat sangat cantik, aku gemetar lagi. Badannya sangat hangat, Rolf, dan dadanya empuk. Apa kau merasakannya juga?" ucap Alex bertanya pada serigalanya.
Seketika itu juga terlihat telinga kucingnya yang ikut bergerak naik turun seakan tengah menikmatinya. Matanya tertutup dengan senyum lebar di bibirnya.
Berbeda denganku yang merasa gugup. Aku sudah sering mendengar ucapan mesumnya, akan tetapi tetap belum terbiasa.
Mendengar pujiannya itu masih saja membuatku tersipu malu. Alex tidak mengucapkannya lewat mulut, meyakinkan ku bahwa dia mengatakannya dengan tulus.
"Ya, Al. Aku jadi tidak sabar menelanjanginya sekarang. Ayolah, lagipula tidak ada orang lain di sini," balas Rolf dengan suara yang lebih serak daripada Alex. Kadang kala dia menggeram di dalam sana.
Alex menggeleng dan memelukku semakin erat. Beberapa kali juga dia menghirup baju ku dengan kuat.
Namun bukan itu yang menjadi fokus ku sekarang. Entah mengapa jawaban Alex selanjutnya membuat darahku mendesir dan senyum tertahan.
"Tidak, aku tidak mau menakutinya, Rolf. Kali ini biarkan dengan caraku, kau selalu gagal! Aku akan melakukannya pelan-pelan," ucapnya yang membuatku salah tingkah.
Perkataannya yang menolak Rolf itu seakan terngiang di kepalaku.
Baru kali ini aku melihat Alex se-tenang ini, biasanya dia akan terburu-buru dan memaksaku melakukannya. Dan jujur saja aku sangat takut dengan sifatnya yang seperti itu.
Sepertinya perlahan Alex berubah menjadi anjing peliharaan yang jinak.
Menggigit bibir dalam, aku jadi merasa bersalah tidak menceritakan tentang Leo padanya. Mengingat aku membutuhkan bantuannya, seharusnya dia lebih dulu mengetahuinya, kan.
Dengan menyusun rencana, akhirnya tanganku bergerak ke arah rambutnya dan mengelusnya lembut.
Telinganya yang sengaja ku sentuh terlihat kegelian dengan kadang membuka dan menutup, membuatku sangat gemas ingin menjahilinya.
"Al, aku ingin meminta bantuanmu, boleh?" tanyaku pelan. Suaraku dibuat sehalus mungkin seperti seorang ibu yang akan membujuk anaknya.
Tanpa berpikir panjang, Alex mengangguk dan berdehem. Bahkan tidak repot-repot untuk membuka mata seakan sudah sangat nyaman dengan posisinya saat ini.
"Kau tahu Leo, kan? Dia pacarku-" ucapku yang terpotong karena tiba-tiba saja Alex bangkit dan menatapku tajam.
Tangannya menumpu pada meja dan wajahnya sangat dekat, tepat berada di hadapanku.
"Mantan! Kau hanya milikku, sayang. Dan aku tidak suka kau menyebut pria lain. Sebel, aku mau marah," balasnya, tidak mau mendengarkan ucapanku selanjutnya.
Badannya setengah berbalik dan wajahnya ditekuk. Kedua tangannya bersedekap dan dia tidak mau menatapku, persis seperti anak kecil yang tengah merajuk.
Kelakuannya terlihat menggemaskan di mataku, mengingatkan pada keponakanku yang baru berusia lima tahun.
Dengan ragu-ragu aku memegang kedua bahunya dan membalikkan badannya lagi.
"Baiklah mantan, calon mantan, terserah mau kau sebut apa. Intinya tolong aku, Al. Hmm bagaimana menjelaskannya, aku diajak ke rumahnya dan aku merasa itu jebakan. Kau mengerti pikiran lelaki, kan? Bantu aku keluar dari situasi ini," lirihku, tidak yakin dengan apa yang ku jelaskan.
Tidak mungkin aku memberitahunya tentang kekuatanku, sudah pasti Alex akan menganggapku aneh dan freak. Entah mengapa aku tidak ingin dia beranggapan seperti itu padaku.
Namun, tidak seperti bayanganku, wajah Alex mengeras dengan gigi yang bergemelatuk. Sekilas dapat kulihat taringnya yang perlahan keluar.
"Akan ku bunuh pria itu!" tegasnya dan tanpa aba-aba berbalik menjauhiku.
Langkahnya terdengar sangat keras dengan tangan yang menggenggam erat. Terlihat urat-urat yang keluar dari sana seakan menyimpan banyak kemarahan.
Dengan cepat aku turun dari meja dan menahan lengannya.
"Al, sebentar. Aku tidak mau dia mati begitu saja. M-maksudku kita bisa membuat rencana yang lebih baik dari itu, aku hanya perlu bantuanmu," pintaku dengan mengedip berulang kali, menggodanya.
Untungnya hal itu berhasil karena Alex berhenti melangkah dan dengan tiba-tiba mendorongku ke dinding. Tubuhnya yang memang besar mengurungku hingga aku tidak bisa melihat apapun selain badannya.
"Hanya aku yang boleh menyentuhmu, aku akan membantumu jika kau mau berjanji hal itu," tekannya, membuat napasku tertahan.
Demi membujuknya, akhirnya aku mengangguk saja dan menuruti semua ucapannya. Lagipula tidak mungkin Alex benar-benar menyukaiku.
Kami sudah sekelas beberapa tahun, akan tetapi dia tidak pernah sekalipun terlihat mendekatiku.
Kali ini pun Alex pasti hanya penasaran padaku.
Melihat gesturku, sontak senyum Alex melebar dan tanpa ku sangka dia mencium kepalaku, lembut. Alex melakukannya dengan lama seakan tengah menghayatinya.
Tubuhku berdiri kaku dan mataku hanya menatap depan, takut untuk bergerak.
Tangannya melingkari leherku dan perlahan mengelus rambutku. Pikiranku terasa kosong dengan degupan jantung yang cepat.
"Jadi apa rencanamu?" tanyanya halus. Walaupun napasnya masih terdengar kasar, Alex menahannya seakan tidak ingin menunjukkan amarahnya padaku.
Spontan senyumku terbit mengetahui Alex akan membantuku.
Aku merasa harus melakukan hal yang setimpal untuk menandingi Leo, oleh karena itu ada satu ide gila yang ku pikirkan saat ini.
Bukan hanya dengan selingkuh, itu sudah terlalu biasa untuk Leo. Aku harus membalasnya dengan lebih kejam.
"Having sex with me."
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved