Bab 9 Matahari Sore

by Nietha_setiaji 21:55,May 19,2023
Matahari Sore


"Bagaimana sekretaris Pete, sudah ada perkembangan?" tanya kakek Hamzah kepada sekretaris Pete yang berdiri di belakangnya.

"Maaf tuan, saya belum menemukan gadis itu," ucap sekretaris Pete seraya menunduk.

Seperti biasa setiap sore, kakek Hamzah berdiri di jendela kaca yang berhadapan langsung dengan taman indah, taman indah peninggalan menantunya yang begitu dia sayangi, menunggu matahari terbenam yang nampak menyejukkan hati. Dia berdiri, dengan tangan di belakang, berusaha menegakkan tubuhnya yang mulai rapuh karena tua.

"Berusahalah sekretaris Pete, bantu aku sebisa mungkin," ucap Tuan Hamzah tanpa membalikkan tubuh.
"Saya akan berusaha sebisa mungkin tuan. Oh iya tuan bolehkah saya bertanya?"
"Tentu, kau adalah orang kepercayaanku, kau bisa menanyakan apa saja kepadaku," ucap kakek Hamzah yang mulai memutar tubuhnya, meraih tongkat kesayangannya dan melangkah maju menuju kursi sudut berwarna putih yang terlihat empuk dan cukup mewah.
"Tuan, apakah yang tuan lakukan ini serius? apakah tuan benar benar akan menjadikan wanita terpilih nanti sebagai menantu?" tanya sekretaris Pete berusaha menggali informasi.
Tuan Hamzah terdiam, seolah berpikir keras mengenai apa yang ditanyakan sekretaris Pete.
"Hmmm, tentu aku akan menjadikannya cucu menantu, aku akan menyayanginya seperti halnya aku menyayangi Elle," ucap kakek Hamzah dengan yakin.
"Kau tau bukan, Rey adalah pewaris satu satunya. Dia harus menikah dengan wanita yang baik, selama aku masih hidup, aku akan mencari wanita terbaik itu," ucap kakek Hamzah memberi penjelasan.
"Saya mengerti tuan, saya akan lebih berusaha," ucap sekretaris Pete seraya menundukkan badan sebagai tanda hormat dan menerima perintah yang diamanatkan kepadanya.

***

Di luar pintu terlihat pelayan Nori berdiri tepat di sebelah pintu kamar kakek Hamzah, kebetulan pintu tidak tertutup dengan sempurna, masih ada celah sekitar lima sentimeter dan itu cukup untuk sekedar mencuri dengar pembicaraan orang yang ada di dalamnya.

Pelayan Nori terlihat begitu serius, mendengarkan apa yang bisa ditangkap telinganya. Dia berusaha mencuri dengar, sekuat tenaga mencondongkan tubuhnya, dengan kehati hatian jika mana ada seseorang yang memergoki apa yang dia lakukan.

Dia bisa mendengar dengan samar ketika kakek Hamzah mengatakan jika Rey adalah pewaris satu satunya. Pelayan Nori tersenyum, dengan senyum yang penuh kelicikan, apa yang sebenarnya direncanakan, bukankah dia pelayan di rumah kakek Hamzah, harusnya dia setia dengan tuannya, namun yang dia lakukan sama sekali tidak mencerminkan bahwa dia adalah pelayan yang memiliki kesetiaan terhadap tuannya.

Beberapa menit setelahnya nampak sekretaris Pete hendak membalikkan badan, lalu melangkahkan kaki meninggalkan kamar kakek Hamzah. Dengan gugup pelayan Nori segera menarik tubuhnya dan berlari ke ujung lorong, menyembunyikan tubuh mungilnya di balik tembok pembatas.

Terdengar suara pintu ditutup, dan langkah kaki mulai menjauh. Pelayan Nori menarik nafas panjang lalu segera meninggalkan tempat persembunyiannya.

***

Pelayan Nori sudah sampai di dapur mewah milik keluarga Hamzah, dapur dengan segala perlengkapannya yang canggih, interior ruang yang menawan lagi mahal.

Pelayan Nori menyembunyikan tubuh mungilnya di balik kulkas besar yang memiliki layar sentuh di pintunya, sesekali dia menoleh ke kanan kiri lalu depan belakang, seolah ingin memastikan jika tidak ada orang lain di ruangan itu.

Jumlah pelayan di rumah itu ada tiga orang, dia dan dua pelayan lain yang bernama bibi Inah dan pelayan susi.

Bibi Inah sudah berusia separuh baya, sekitar lima puluh tahun, dia adalah pelayan setia keluarga Hamzah yang sudah berada di rumah itu sejak Reynold masih bayi. Tubuhnya sedikit gemuk, dengan rambut rapi diikat ke belakang lalu digelung menggunakan jepit jaring yang membuat rambutnya semakin rapi dan teratur. Rambutnya masih terlihat hitam, meski usianya sudah mulai tua, bibirnya begitu segar dengan polesan lipstik warna merah segar. Ada tahi lalat kecil di atas bibirnya, seolah membuatnya semakin terlihat berani. Bibi Inah adalah pelayan setia yang sering membuat Reynold tertawa, humornya selalu tercipta, lewat cerita dan logat bicara bahasa Jawa yang kental.

Di balik kulkas besar yang canggih itu, pelayan Nori terlihat mengambil handphon dari saku rok pendeknya yang berwarna hitam, seragam pelayan di rumah itu memang dominan dengan warna hitam dan putih, namun tampak sangat rapi dan mewah.

Dia terlihat mengirim pesan dengan begitu serius, beberapa kali handphonenya berbunyi sebagai tanda pesannya telah di balas dari seseorang yang beberapa detik lalu menerima pesannya. Beberapa kali suara pesan masuk terdengar, hingga kegiatannya itu dikagetkan oleh suara yang tidak asing baginya.

"Nori! Lagi lagi main handphone saat kerja, kau mau dipecat?"
Mendengar ada seseorang yang memergoki kegiatannya, dia buru buru memasukkan handphone berwarna ungu itu ke dalam sakunya, lalu segera mengamati seseorang yang sudah berada di hadapannya. Ternyata itu adalah bibi Inah, pelayan senior atau bisa disebut sebagai kepala pelayan.

"I-iya bik, saya membalas pesan dari ibu saya," ucap pelayan Nori gugup.
"Memang ibumu tidak tahu jika kamu sedang bekerja?" tanya bibi Inah.
"Tau, tau bik," ucapnya gugup seraya mengangguk cepat.
"Ya sudah, sekarang segera bereskan kamar tuan muda Reynold, sebentar lagi dia pulang, setelah itu kita siapkan makan malam," ucap bibi Inah memberi perintah yang disambut dengan sikap siap sedia oleh bawahannya itu. Dengan gugup pelayan Nori segera melangkahkan kaki ke arah tempat penyimpanan peralatan kebersihan, mengambil beberapa barang yang dia butuhkan untuk membersihkan kamar tuan muda Reynold seperti halnya sapu, kemoceng, lap dan alat semprot yang berisi pewangi ruangan. Dia tau betul jika tuan muda Reynold adalah orang yang sangat teliti, bersih dan seolah sangat alergi dengan debu bahkan setitik kotoran yang baginya sangat menjijikkan, semua pelayan harus berusaha membersihkan kamarnya dengan sempurna, hingga bersih dan wangi seperti standar kebersihan yang biasa mereka terapkan untuk kamar tuan muda perfeksionis itu.

Di lain tempat, tepatnya di sebuah apartemen mewah, terlihat seorang wanita muda yang membalut tubuhnya dengan handuk piyama berwarna putih, dia duduk menghadap ke arah jendela kamar yang langsung berhadapan dengan kolam renang mewah. Tangannya sibuk memegang handphone dan sepertinya dia selesai membalas pesan penting. Itu adalah Monalisa, dia beberapa kali membaca pesan yang tersaji di layar handphonenya lalu tersenyum licik, seolah tengah memikirkan sesuatu yang begitu membangkitkan semangatnya.

Rambutnya masih basah, terurai berantakan, entah dia selesai berenang atau mandi, dia terlihat cukup bahagia setelah melihat pesan di handphonenya, dia terdengar bernyanyi lalu beberapa kali menggoyangkan tubuhnya seolah ada deru musik yang menggema. Dia mengangkat tubuhnya, berjalan sambil terus berlenggak lenggok lalu menjatuhkan tubuhnya di kasur empuk dengan seprai putih bersih, dia tertawa cekikikan, lalu kembali tersenyum licik.


Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

135