Bab 8 Part 8. Pertemuan Yang Mengejutkan

by Neng Gemoy 22:01,Dec 05,2023
Jam 10 siang aku terbangun, kulihat Mbak Wati duduk membelakangiku dalam keadaan bugil sambil menyisir rambutnya yang panjang dan basah, tercium bau sabun dan shampo. Aku menggeliat merenggangkan otot ototku, momen yang tidak mungkin aku sia siakan, tanpa meminta izin aku meraih toket besar Mbak Wati dengan gemas aku meremasnya membuat Mbak Wati terpekik kaget. Belum hilang rasa kaget Mbak Wati, aku sudah mencaplok pentil toketnya dengan rakus aku menghisapnya, sunggu sarapan pagi ternikmat.
"Ujang, bangun tidur kok langsung nyusu ? Mandi dulu, sana...!" protesnya tidak sesuai dengan kenyataan. Tangannya malah menekan kepalaku semakin terbenam di payudaranya yang hangat. Membuatnya seperti sedang menyusui anaknya yang terbangun dari tidur karena lapar.
"Habis Mbak juga, sih. Aku bangun tidur disuguhi susu Mbak yang indah." kataku kembali membenamkan wajahku di payudaranya yang menggantung indah. Aku tidak bosan dan tidak akan pernah bosan melakukannya, semuanya salah Mbak Wati yang membuatku ketagihan oleh susunya. Aku lebih suka menyebutnya susu.
"Ya udah, sana kamu mandi dulu." katanya sambil mendorong kepalaku dan mengambil handuk yang masih lembab karena bekas dipakainya dan menyodorkannya kepadaku.
"Mbak, aku pengen..!" kataku merengek seperti anak kecil. Tanganku terulur meraba memeknya yang sudah menodai keperjakaanku.
Memek yang sudah memberiku kenangan terindah.
"Nakal ya, mandi dulu. Memek Mbak gak akan ke mana mana..!" jawab Mbak Wati menutup wajahku dengan handuk yang dipegangnya.
Aku beranjak malas, aku belum puas bermain bermain dengan payudaranya. Aku menatap Mbak Wati berharap dia menawarkan tubuhnya untuk kunikmati sebelum mandi. Kontolku kembali bangkit tanpa dapat aku cegah.
"Mandi dulu, nanti tak kasih memek...! Kata Mbak Wati seperti mengerti apa yang aku pikirkan, terlebih melihat kontolku yang menonjol dari balik celana.
Janji yang membuatku tersenyum senang.
"Iya, Mbak cantik..!" godaku sambil mengelus pipinya yang tidak bisa dikatakan halus, pipi wanita pertama yang aku cium. Pemilik pipi chubby yang mengajariku kenikmatan terlarang yang berkedok ritual. Aku ragu, ini sebenarnya ritual atau sekedar mengumbar nafsu birahi, bagiku sama saja karena kedatanganku justru ingin menikmati tubuh indah Mbak Wati.
Aku berjalan ke kamar mandi. Di depan kamar mandi aku berpapasan dengan Ibu pemilik warung yang tersenyum, entah apa arti senyumnya setelah semalam dia gagal menikmati kontolku.
"Kasian deh, kamu. Gagal ngecrot di memeknya ,Lastri." bisik Ibu pemilik warung sambil meninggalkanku yang tersipu malu mengingat kejadian semalam, kejadian yang tidak pernah kuduga sebelumnya.
Bukannya ibu warung yang gagal menikmati kontolku.
Aku segera masuk kamar mandi yang kecil, kamar mandi sederhana untuk para peziarah yang datang menginap. Belum sempat aku menutup pintu kamar mandi, tiba tiba Lastri muncul, nyerobot masuk kamar mandi tidak menghiraukan keberadaanku.
"Nanti dulu, aku kebelet pipis." katanya, tanpa risih membuka celana di depanku lalu jongkok. Serrr, suara air kencing keluar dari memek Lastri membuatku melihat ke arah selangkangannya, sebagaian air kencingnya mengenai telapak kakiku, terasa hangat. Aneg, aku sama sekali tidak merasa jijik.
"Kamu gak malu, kencing di depanku ?" tanyaku menatapnya, berusaha melihat memeknya yang terhalang oleh celana di pahanya.
"Gak Lah, kan semalam kamu udah ngentot memekku..." katanya cuek, karena dia sudah terbiasa memperlihatkan seluruh bagian tubuhnya ke pria yang baru dikenalnya.
"Iya, tapi aku belum ngecrot di memek, kamu." kataku, teringat dengan perkataan ibu warung. Lastri tertawa mendengar perkataanku, dia mengambil air dengan gayung untuk membersihkan memeknya.
"Kalau mau ngecrot di memek Lastri, harus bayar..!" kata Lastri berdiri memperlihatkan memeknya kepadaku dan mengelus elusnya, Lastri langsung menaikkan celanya saat aku akan menyentuh memeknya, membuatku mendongkol dan meninggalkanku yang menatap kepergiannya.
Percuma membayangkan memek Lastri, masih ada memek Mbak Wati yang bisa kunikmati sepuasnya. Aku segera mengguyur kepalaku dengan air yang berada di kolam.
Selesai mandi, badanku terasa segar. Di kamar Mbak Wati sudah berpakaian lengkap, mengenakan kaos lengan panjang warna biru dan celana panjang jeans ketat mencetak pahanya yang montok terlihat jelas. Rambutnya yang panjang, dibiarkan tergerai membuatnya terlihat lebih cantik alami tanpa polesan. Penampilannya seperti seorang gadis, wajahnya terlihat lebih muda dibandingkan dengan penampilannya selama ini.
"Mbak, katanya setelah aku mandi mau ngentot?" tanyaku kecewa.
"Makan dulu, Jang. Mbak lapar." jawab Mbak Wati tertawa geli melihat nafsuku yang sangat besar. Dengan setengah jengkel, aku mengangguk menyetujui ajakannya.
Selesai berpakaian, kami keluar kamar. Di depan kami melihat Ibu Warung sedang asik ngobrol bisik bisik dengan Lastri, entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya mereka sedang membicarakan kejadian semalam, buktinya mereka ngobrol dengan cara berbisik bisik. Biarlah, aku pura pura tidak ada kejadian apa apa semalam, jangan sampe Mbak Wati curiga
"Kopi, teh manis dan sarapan ya, Mbak ? Tanya Ibu warung ke Mbak Wati, sepertinya dia langsung hafal apa yang akan kami pesan, pengalaman selama mengelola penginapan mesum hampir semua yang menginap di sini hanya keluar kamar untuk makan dan minum kopi.
"Iya, Bu." jawab Mbak Wati sambil menarikku duduk di sampingnya, di kursi kayu panjang yang biasa ada di warung pinggir jalan dan bisa menampung beberapa orang sekaligus sehingga tidak memakan banyak tempat.
"Habis sarapan kita jalan jalan liat waduk, ya!" kata Mbak Wati. Tangannya memeluk pinggangku dengan mesra, seolah aku adalah kekasihnya. Ya, selama di sini ada keyakinan bahwa pasangan ritual adalah suami istri, walau pada kenyataannya mereka hanyalah pasangan mesum untuk kesempurnaan ritual. Padahal jelas jelas kehadiran merek tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Dewi Ontrowulan, mereka bukan DEMENAN.
"Jang, dari tadi kamu liatin Lastri terus, pengen ya?" goda Mbak Wati berbisik setelah menyadari arah tatapanku.
"Eng enggak, Mbak" jawabku gugup. Siapa juga pria yang tidak akan melirik ke arah gadis cantik dengan sepasang lesung pipit di pipinya saat tersenyum. apa lagi setelah kejadian semalam, kejadian yang membuatku sport jantung sehingga aku tidak bisa menikmati.
"Kalau kamu mau, bilang aja. Asal kamu punya uang..!" bisik Mbak Wati menggodaku. Sepertinya Mbak Wati tahu banyak situasi di sini.
Aku tidak menjawab, tanganku langsung mengambil sendok di piring nasi yang sudah tersaji di hadapanku. Tidak banyak yang kami obrolkan selama sarapan. Kami lebih asik dengan menu sarapan, nasi yang masih hangat, orek tempe, sayur sop dan ikan goreng yang katanya hasil tangkapan dari waduk yang mengelilingi Gunung Kemukus.
Saat kami asyik menyantap makan, datang 2 orang yang langsung duduk di hadapan kami. Aku terkejut melihat kedatangan dua orang yang sangat kami kenal. Tidak salah lagi, wanita berjilbab pink dan gamis yang juga pink itu adalah Lilis langganan mie ayamku dan Suaminya Pak Budi tetangga kami 1 RT di Bogor.
Seperti halnya kami, Lilis dan suaminya tampak terkejut melihat kami, beberapa saat kami hanya saling pandang tidak percaya dengan pertemuan di Gunung Kemukus, tempat ziarah mesum yang sudah sangat terkenal. Mereka tentu merasa malu karena bertemu kami di sini, tempat mesum. Mereka orang yang terhormat dan terpandang, tempat ini terlalu kumuh untuk mereka.
"Loh, Mbak Wati,Ujang kalian di sini ?" tanya Pak Budi yang sudah bisa mengendalikan diri dari keterkejutannya.
"Iya, pak. Kami sedang ziarah." kata Mbak Wati dengan suara pelan. Malu bertemu di tempat mesum seperti ini dengan orang yang kami kenal.
Lilis menunduk malu, wanita yang kukenal alim dan aktif di pengajian. Wanita yang cantik dan anggun yang selalu mengenakan jilbab dengan kecantikan khas wanita priangan, kulitnya yang kuning langsat. Tapi sepertinya dia tidak perlu merasa malu karena datang bersama suaminya. Itu artinya dia datang dengan tujuan untuk berziarah, bukan untuk melakukan ritual mesum.
"Dari kapan kalian di sini?" tanya Pak Budi, lagi. Nada bicaranya normal, seolah bertemu di tempat ini adalah hal yang biasa. Matanya melihat ke arahku dengan tatapan mata menyelidik membuatku menunduk malu, sepertinya Pak Budi tahu aku terus menatap wajah Lilis yang menunduk.
"Dari kemarin, Pak " kata Mbak Lastri yang sudah kembali tenang. Torch Pak Budi dan istrinya kesini juga pasti mau ritual juga. Jadi, buat apa harus malu. Yang jadi pertanyaan, kenapa Pak Budi datang dengan istrinya ? Bukankah menurut keyakinan, ritual sex harus dilakukan dengan pasangan tidak sah. Bisa saja mereka janjian dengan pasangan lain untuk melakukan ritual.
"Bu, masih ada kamar kosong ?" tanya Pak Budi ke Ibu Warung. Sudah jelas sekarang, kedatangan mereka untuk melakukan ritual.
"Masih, Pak. Mari saya antar." jawab Ibu Warung yang terlihat senang, kamar yang disewakannya kembali terisi, itu artinya pundi pundi uangnya bertambah.
"Mbak, Jang, aku tinggal sebentar ya !" kata Pak Budi mengambil tas berisi baju diikuti Lilis sambil melemparkan senyum kepada kami. Aku memperhatikan kepergian mereka mengikuti Ibu pemilik warung, Lilis menoleh ke arah kami dan kembali memamerkan senyum yang membuatnya semakin cantik.
"Mbak... Ko Pak Budi sama Teh Lilis juga ke sini, ya? Kan mereka udah kaya ya. " kataku tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahuku, menurut kami Pak Budi sudah cukup kaya, kehidupan mereka terlihat berlimpah. Hanya kekurangan mereka itu belum dikaruniai anak. Kalau mereka berniat melakukan ritual seperti kami, sungguh beruntung pria yang menjadi pasangan ritual Lilis, andai pria itu adalah aku.
"Mungkin pengen lebih kaya lagi, Jang. Hayo, kamu mengharapkan ritual dengan Teh Lilis, ya? " goda Mbak Wati yang bisa menebak pikiran ku, jangan jangan dia punya kemampuan supranatural sehingga tebakannya selalu tepat.
"Tapikan mereka suami istrikata Mbak, ritualnya harus dilakukan dengan pasangan tidak sah?"tanyaku, penuh harap mendapatkan durian runtuh, menjadi pasangan ritual Lilis.
Belum sempat Mbak Wati menjawab, Pak Budi muncul memanggil kami. "Mbak Wati, Ujang, kita ngobrol di kamar dulu, yuk !" kata Pak Budi menghampiri kami yang sudah selesai makan dan menikmati kopi dan teh manis.
"Iya Pak, sebentar..!" jawab Mbak Wati menarik tanganku mengikuti Pak Budi kembali masuk kamar, entah apa yang akan dibicarakannya.
"Begini Mbak, kami kesini belum punya pasangan ritual. Bagaiimana kalo kita tukar pasangan?" tanya Pak Budi membuat jantungku berdegup sangat kencang, apa yang dimaksud Pak Budi adalah aku menjadi pasangan ritual Lilis sementara dia berpasangan dengan Mbak Wati?
Aku nyaris tidak bisa bernafas membayangkan Lilis akan menjadi pasangan ritualku, hal yang sempat terlintas oleh pikiranku beberapa saat tadi dan sepertinya akan terjadu, sekarang semuanya tergantung Mbak Wati, dia akan bersedia atau tidak. Aku menoleh ke arah Mbak Wati, nenunggu jawaban yang akan keluar dari bibirnya.
"Maksudnya, Pak ?" tanya Mbak Wati, membuatku merasa jengkel. Ajakan Pak Budi sudah sangat jelas jadi tidak perlu dijelaskan lagi. Mbak Wati hanya perlu menjawab Ya Ya dan Ya, semoga Mbak Wati tidak menolak ajakan Pak Budi.
Dia menoleh ke arahku yang gelisah, seperti seorang pesakitan yang menunggu vonis dari hakim dan hakim itu adalah Mbak Wati, cepat keluarkan vonismu sebelum aku jatuh pingsan.
"Maksudnya, Mbak jadi pasangan saya, Ujang jadi pasangan Lilis. Kan aturan Ritual Gunung Kemukus harus bersetubuh dengan orang lain. Tadinya kami sengaja datang hari ini, biar besok kami leluasa mencari pasangan. Kebetulan kita bertemu disini, ya sudah kita tukar pasangan saja. Apalagi kita ini tetangga, jadi kalo salah satu diantara kita berhasil, kita bisa bantu pasangan Ritual kita dan situasinya bisa jadi lebih mudah daripada kami harus mencari pasangan yang belum kami kenal." kata Pak Budi, panjang lebar. Aku melihat ke arah Lilis yang tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Tuhan, seberuntung apa aku sehingga ada bidadari yang menawarkan tubuhnya, semuanya kembali kepada keputusan Mbak Wati. Semoga keberuntungan yang berada di hadapanku tidak hilang karena keputusan Mbak Wati yang salah
"Saya sih mau saja, Pak, nggak tahu kalau Ujang." kata Mbak Wati, menoleh kepadaku. Padahal Mbak Wati tidak perlu bertanya kepadaku, sudah jelas aku akan sangat setuju. Kenapa dia sekarang nenyerahkan semuanya kepadaku, hal yang tidak seharusnya dia lakukan.
"Gimana, Jang ?" Pak Budi bertanya padaku, nafasku serasa berhenti.
Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

328