Bab 2 Part 2. DEMENAN

by Neng Gemoy 21:55,Dec 05,2023
"Gak apa apa, Mbak..!" jawabku gelisah saat Mbak Wati melepas jilbabnya, lalu membuka ikatan rambutnya sehingga rambutnya yang panjang tergerai indah. Aku merasakan sesuatu yang berbeda, padahal hampir setiap hari melihat rambut Mbak Wati saat di Bogor.
“Kamu seperti belum pernah melihat rambutku saja, Jang.” Kata Mbak Wati tertawa kecil melijatku yang terpesona oleh keindahan rambutnya.
“Ngga tahu Mbak, rambut Mbak sepertinya berbeda dibandingkan saat di Bogor.” Jawabku tidak mengerti dengan apa yang kurasakan.
“Apanya yang berbeda, Jang?” tanya Mbak Wati sambil mempermainkan rambutnya di dada.
“Nggak tahu Mbak, terlihat lebih imdah.” Jawabku semakin tidak mengerti apa yang sedang kurasakan. Samar samar aku melihat seorang wanita cantik yang berkemben mengibaskan rambutnya yang panjang sehingga beberapa perhiasan yang menempel pada rambutnya berjatuha dan saat menyentuh tanah, perhiasan itu hilang tidak berbekas. Aku memejamkan mataku, setahuku saat kami masuk, tidak ada seorangpun selain kami berdua.
“Kamu kenapa, Jang? Wajah kamu mendadak jadi pucat?” tanya Mbak Wati menjadi khawatir, dia meraba dahiku yang tiba tiba basah oleh keringat.
“Nggak apa apa, Mbak..!” jawabku, berusaha memberanikan diri membuka mata. Wanita itu sudah tidak, lenyap entah ke mana.
“Ya sudah, kita jangan lama lama di sini, nanti keburu ada yang datang untuk mandi.” Kata Mbak Wati mulai membuka baju bagian atasnya, membuatku menahan nafas mengikuti gerakkan baju yang terangkat semakin tinggi. Perut Mbak Wati memang berlemak, tapi tidak sedikitpun mengurangi keindahannya. Nafasku nyaris berhenti saat payudaranya yang tertutup BH, terbebas dari baju yang membelenggunya.
"Kenapa, Jang? Tetek Mbak gede ya?" goda Mbak Wati meremas payudaranya, menggodaku yang shock melihat payudaranya yang terbungkus BH, aku ingin menyentuhnya, tapi keberaniannku tidak sebanding dengan keinginanku.
Mataku kembali disuguhi pemandangan yang hanya ada dalam khyalanku, Mbak Wati menurunkan rokny perlahan, terlalu pelan sehingga seperti sebuah slow motion yang membetot kesadaranku. Celana dalamnya menghalangiku melihat bentuk memeknya yang seklilas pernah aku lihat di kontrakan. Buka terus, jangan siksa aku dengan gerakkanmu yang terlalu pelan.
“Jangan melotot begitu, nanti mata kamu lepas. Hihihi..!” kata Mbak Wati tertawa geli, tangannya berkacak pinggang. Sayang, BH dan Cd menutupi bagian yang paling ingin aku lihat, bagian yang membedakan seorang wanita dengan pria.
"Jang, jangan melotot terus, nanti juga setelah selesai ziarah kamu bksa merasakan semuanya.!" kata Mbak Wati menghampirikj dan menarik kaos yang aku kenakan terlepas dari badanku melewati kepala. Dengan santai mbak wati berjongkok dan membuka celanaku seperti seorang ibu yang menelanjangi anaknya yang nakal dan tidak mau mandi. Aku diam, tubuhku semakin kaku bahkan saat harus mengangkat kakiku untuk melepas celana, membuat celanaku basah terkena genangan air di lantai.
"Jang, kontol kamu gede amat !" ucap Mbak Waati takjub melihat kontolku yang sudah berdiri dengan perkasanya. Reflek aku menutup kontolku dari pandangan Mbak Wati yang melotot tepat di depan kontolku.
"Gak usah ditutup, Jang. Bentar lagi kontol kamu masuk memekku nanti malah kamu yang pengen selalu telanjang di depanku. Hihihi" Mbak Wati tertawa geli melihatku yang pucat karena malu. Tangannya menepiskan tanganku yang berusaha menutupi kontolku dari pandangan matanya yang takjub.
“Tolong bukai Bh Mbak, Jang !” kata Mbak Wati menarik tanganku sehingga tubuh kami bersentuhan, hangat sekali tubuhnya, bahkan aku bisa merasakan detak jantung Mbak Wati yang sangat keras.
“Jangan diam saja Jang, bukain BH Mbak! “ kata Mbak Wati berbisik sehingga nafasnya menerpa leher dan telingaku, membuat kesadaranku nyaris hilang.
"Iyyyya..!" tanganku terulur meraih kaitan BH yang berada di punggungnya sehingga tubuh kami semakin menempel, payudaranya yang besar terasa lunak dan hangat. Ya Tuhan, jangan biarkan aku hilang kesadaran sebelum mencicipi tubuhnya yang indah.
"Kamu bisa gak sich, buka kancing BH? " tanya Mbak Wati, tangannya memeluk leherku sehingga kesadaranku nyaris hilang dan aku belum juga berhasil membuka BHnya.
"Dasar perjaka ting ting..!" kata Mbak Wati membantu ku membuka kaitan BHnya yang dengan cepat terlepas.
"CD Mbak Jang, bukain..!" kata Mbak Wati merajuk manja sambil menekan pundakku agar berjongkok di hadapannya. Tanpa dapat kutahan dan aku memang tidak berusha jntybertahan, aku berjongkok menatap gundukan memeknya yang tersembunyi di balik CD putihnya sehingga aku bisa mencium bau asing dari memeknya, bau yang sangat menggarahkan.
"Bukain Jang, jangan dilihatin terus, nanti keburu ada Ya datang mau mandi..!" kata Mbak Wati menyadarkanku, ini bukan tempat yang teppat untuk menikmati keindahan tubuhnya. Dengan tangan gemetar aku bergerak cepat membuka cd nya.
"Memek Mbak jadi nyut nyutan pengen dientot...! Buruan kita mandi." kata Mbak Wati mengambil bungkusan berisi kembang dan minyak mawar dari tasnya. Kembang ditaburkan dalam ember yang masih kosong. Aku segera menimba air dan mengisi ember hingga penuh. Mbak Wati meneteskan minyak mawar ke dalam air.
"Jang, Mbak dulu yang kamu mandiin, setelah itu Mbak yang mandiin kamu. Ikuti bacaan Mbak, ya..!
Niat isun ngadusi Wati binti Adam,.................. " ​
kata Mbak Wati berjongkok menghadap sumur, membelakangiku. Membaca mantra untuk mandi hingga selesai. Mantra ya g menurutku terlalu panjang dan bebeda dengan mantra mandi yang aku hafal.
"Iyya, Mbak..!" aku mengikuti bacaan Mbak Wati hingga selesai. Dengan tangan gemetar, aku mulai menyiramkan air dari gayung ke atas kepala Mbak Wati sebanyak tujuh gayung, aku melakukannya dengan tergesa gesa. Aku ingin semua prosesi ritual cepat selesai sehingga aku bisa bisa membenamkan kontolku di memek Mbak Wati.
"Selesai, Mbak." kataku setelah tujuh gayung air membasahi tubuh Mbak Wati yang terlihat khusu menjalani prosesi ritual. Hilang sudah kesan nakal dan binal yang selalu terucap dari bibirnya.
"Sekarang Mbak yang mandiin, kamu." tanpa diperintah untuk kedua kalinya, aku berjongkok menghadap Mbak Wati sehingga aku bisa melihat memeknya dengan jelas, memek yang akan menjadi petualangan pertamaku.
"Kamu Jang, kok malah menghadap memek Mbak, bukannya menghadap sumur.!" kata Mbak Wati hanya tertawa kecil melihatku, dia mendekatkan memeknya ke wajahku membuat wajahku semakin memerah. Tangannya menarik kepalaku sehingga menyentuh memeknya, tercium bau memek yang sangat khas.
"Kamu sudah gak sabar pengen nyium memek, Mbak ya?" goda Mbak Wati sambil bergerak mundur menjauhkan memeknya dari wajahku, reflek aku mengejar memek Mbak Wati, tidak rela mangsa yang sudah di depan mata terlepas begitu saja.
"Santai, Jang. Nanti juga kamu bisa menikmati memek Mbak sesuka kamu, sepuasnya. Sekarang kamu menghadap sendang.!" kata Mbak Wati membuatku malu. Aku segera berbalik membelakanginya.
Mbak Wati mengambil air dengan gayung dan mulai membaca mantra seperti yang diajarkannya kepadaku, dia sangat khusu sehingga membuat bulu kudukku merinding membuatku melupakan bayang bayang memeknya dari pikiran. Air tertumpah membasahi kepalaku, turun ke sekujur tubuh yang membuatku merasa segar dan nyaman.
"Sudah, Jang..!" kata Mbak Wati menepuk pundakku yang sedang khusu. Aku segera berdiri nenatap Mbak Wati yang kembalu mengenakan pakaiannya.
"Terus sekarang kita ke mana, Mbak?" tanyaku setelah kami selesai berpakaian.
"Ke Makam Pangeran Samudra di atas bukit, kita ziarah dulu di sana." jawab Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sudah tidak sabar ingin melepaskan perjaka.
Dari sedang ke makam Pangeran Samudra lumayan jauh, kami harus menaiki anak tangga yang berjumlah puluhan. Di kiri kanannya terdapat warung warung yang setahuku menyediakan kamar kamar untuk menginap dan melakukan ritual mesum. Sungguh tempat yang sangat unik, satu sisi tempat ini dianggap sebagai tempat sakral yang bisa mengabulkan setiap hajat dan pada sisi lain, tempat ini menjadi tempat mesum yang dijadilkan lokalisasi para wanita yang menjajakan dirinya.
Sesampainya di atas bukit, ada beberapa wanita menjajakan kembang untuk para peziarah. Mereka menawarkan kembang kepada para peziarah yang datang, Mbak Wati membeli dua bungkus kembang dan menyan yang sudah tersedia. Setelah itu kami masuk bangunan makam yang diberi nama Bangsal Sonyoyuri, di situlah makam Pangeran Samudra yang dipercaya sebagai putra dari Prabu Brawijaya V, raja terahir kerajaan Majapahit.
Sejarah dan asal usul Pangeran Samudra masih simpang siur, banyak persi yang beredar tetapi yang paling melekat adalah ucapan Dewi Ontrowulan sebelum wafat.
“ Bagi siapa saja yang mempunyai keinginan atau cita-cita, untuk mendapatkannya,harus dengan sungguh- sungguh, mantap, teguh pendirian, dan dengan hati yang suci. Jangan tergoda oleh apa pun, harus terpusat pada yang dituju atau yang diinginkan. Dekatkan dengan apa yang menjadi kesenangannya, seperti akan mengunjungi idamanya ( Dhemenane, Pacar gelap; selingkuhan )”​
Kepercayaan itulah yang membuat ritual sex tumbuh subur di Gunung Kemukus.
"Nama dan binti, niat anda datang ke sini, Mbak ?" tanya kuncen ke Mbak Wati yang dengan lancar menyebutkan nama dan maksudnya datang ke Gunung Kemukus.
"Kamu ? " kuncen menoleh ke arahku., menanyakan hal yang sama seperti yang ditanyakan ke Mbak Wati.
"Ujang bin Ugan, niatnya sama, Pak" aku menjawab lirih, bau menyan begitu tajam membuatku merinding dan semakin merinding saat kuncen membaca mantra. Bau menyan yang mengingatkanku ke Abah, setiap malam Jumat Abah selalu membakar kemenyan untuk susuguh ke para Karuhun. Kulihat Mbak Wati menundukkan wajah dengan khusyuk.
Selesai membaca mantra, kuncen memberikan kembang yang sudah diasapi menyan, menyuruh kami masuk ke dalam cungkup makam. Hanya kami berdua di dalam cungkup, bersila dan berdoa dengan khusuk agar semua keinginan kami terkabul.
Keheningan itu pecah saat Mbak Wati terisak lirih, air mata mengalir di pipinya yang chubby dan mulus, tanpa sadar, aku pun ikut menangis. Teringat dengan nasibku, umur 8 aku sudah menjadi yatim, umur 15 tahun, aku sudah harus memberi nafkah ibu dan adikku, membiayai sekolah adikku adikku.
Suara isak kami seperti mantra yang mengetuk alam ghaib, mengiba agar semua hajat kami terkabul. Kami bersujud tanpa sadar, dahi kami menyentuh marmer makam yang dingin, semua tangis dan kesusahan yang dialami semuanya, seakan tertumpah saat itu. Akhirnya kesadaranku pulih, saat Mbak Wati mengguncang pundakku, tersenyum dengan mata yang sembab.
"Sudah selesai. Belum?" tanya Mbak Wati, masih terlihat matanya yang sembab sehabis menangis.
"Mbak sudah?" tanyaku balik bertanya. Aku kesini karena ajakannya, maka semuanya harus mengikuti perintahnya.
"Sudah..!" jawab Mbak Wati sambil berdiri, tangannya yang terulur kusambut dengan senang hati. Kami bergandengan tangan meninggalkan bangsal Sonyoruri seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta dan kerinduan setelah lama berpisah. Mungkin ini yang dimaksud Dewi Ontrowulan dengan kata DEMENAN, walau pemahaman kami tentang kata DEMENAN berbeda dengan maksud dari Dewi Ontrowulan.
Kata DEMENAN menurut pemahaman kami adalah menumpahkan semua hasrat birahi yang belum tersalurkan, hasrat birahi tabu karena kami bukanlah sepasang suami istri,. Mbak Wati adalah seorang istri yang datang mencari berkah kekayaan sehingga rela berzina denganku seorang perjaka yang mendambakan kehangatan seorang wanita. Semuanya akan kami tumpahkan di sini, menuntaskan hasrat birahi yang belum sempat kami reguk.
Tanpa bersuara kami meninggalkan makam Pangeran Samudra, bergandengan tangan menuruni anak tangga yang di kiri kanan berjejer warung warung yang sepi, setia menunggu malam Jum'at Pon tiba. Pada saat itulah ribuan orang akan memadati tempat ini, menuntaskan hasrat birahi mereka dengan dalih melakukan ritual, ngalap berkah lewat pertemuan Lingga dan Yoni.
Kami berjalan menuruni anak tangga dengan bergandengan tangan dengan perasaan gelisah, sebentar lagi Ritual selanjutnya akan dimulai, tanganku semakin erat menggenggam tangan Mbak Wati yang menoleh ke arahku dengan senyumnya yang khas, sebentar lagi aku akan merasakan kenikmatan yang sebenarnya dan melakukan ritual sesungguhnya. Kenikmatan ngentot yang akan membuatku menjadi pria sejati.
****
Setibanya di kamar, Mbak Wati memesan kopi pahit, kopi manis, susu dan air putih. Piring kosong untuk tempat bunga, semuanya diletakkan di meja. Dari dalam tas, Mbak Wati mengeluarkan lisong, rokok klobot dan juga daun sirih.
“Untuk sesaji, " kata Mbak Wati menjelaskan melihat tatapanku. Senyumnya tidak lepas dari bibir mungilnya. Aku hanya mengangguk, karena hal ini bukan hal asing untukku. Aku dibesarkan oleh Ibu dan Abah/kakekku serta Mang Karta yang sangat memegang teguh adat istiadat, tradisi yang rutin kami lakukan pada malam malam tertentu dan saat saat tertentu. Menaruh sesajen di tempat PENDARINGAN/ TEMPAT MENYIMPAN BERAS, selalu rutin kami lakukan. Membakar menyan, tidak pernah Abah lewatkan.
"Sudah siap, buka bajunya Jang. Kita akan melakukan meditasi dalam keadan tubuh telanjang, memohon agar semua keinginan kita terkabul." kata Mbak Wati tersenyum menatapku yang asik melihat persiapan yang dilakukan Mbak Wati. Mbak Wati membuka jilbab perlahan lahan, membuatku menahan nafas. Walau aku tahu dan selalu melihat rambut dan lehernya tapi saat ini terasa berbeda, entah apa yang membuatnya berbeda.
"Kamu kenapa Jang, ngeliat Mbak seperti itu? " kata Mbak Wati sambil menggeraikan rambutnya yang panjang dan basah, semakin menambah kecantikannya, leher yang tidak jenjang tidak mengurangi keindahan rambutnya.
"Gak apa apa, Mbak..!" jawabku berbohong, jantungku berdegup makin kencang saat Mbak Wati mengangkat bajunya perlahan sehingga aku melihat perutnya yang berlemak, tidak mengurangi keindahan tubuhnya.
"Perut Mbak, gendut ya?" tanya Mbak Wati mengelus perutnya yang berlemak, seolah ingin menunjukkan lipatan lemak yang berada di perutnya.
"Iyyyya, Mbak!" jawabku gugup dengan pertanyaan Mbak Wati.
"Ujang jahat, perutku dibilang gendut." kata Mbak Wati kembali menurunkan bajunya sehingga aku gagal melihat keindahan payudaranya yang sudah menyihirku di Sendang Ontrowulan, tentu saja hal ini membuatku panik.
"Bukkkan begitu, Mbak. Perut Mbak Wati sexy..!" kataku berusaha meredakan kemarahan Mbak Wati. Aku tidak menyangka perkataanku menyinggung perasaan Mbak Wati.
"Hihihi, kamu lucu, Jang. Dasar perjaka ting tong..!" kata Mbak Wati kembali mengangkat baju atasnya perlahan lahan berusaha menggodaku yang bisa menarik nafas lega, ternyata Mbak Wati tidak marah seperti dugaanku. Dia hanya sedang menggodaku saja.
"Mbak Wati ngeledek..," kataku cemberut, setidaknya keteganganku mulai berkurang, ketegangan yang kurasakan sejak dari Bogor.
Pandanganku kembali tertuju ke Mbak Wati yang semakin tinggi menaikkan bajunya, kembali aku menarik nafas saat payudaranya yang tertutup BH warna putih terlihat.
"Tetek Mbak, gede nggak?" tanya Mbak Wati memegang kedua payudaranya yang tidak tertampung seluruhnya oleh BH yang menurutku sangat kekecilan untuk ukuran payudara Mbak Wati.
"Gede, Mbak..!" jawabku menelan air liur untuk membasahi tenggorokanku yang tiba tiba menjadi kering.
Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

328