Bab 10 Saling Membutuhkan
by Abigail Kusuma
09:49,Aug 02,2023
“Tuan Athes, ini adalah fasilitas yang dimiliki oleh hotel kami. Tempat gym, spa, kolam renang, serta tempat bersantai menghabiskan sore hari sambil menunggu sunset. Semua kami telah siapkan. Design hotel ini sendiri menggabungkan design khas Thailand dan Italia. Perpaduan dua negara yang diambil dalam konsep hotel ini tujuannya agar para tamu hotel tidak merasakan kejenuhan. Seperti kita tahu, Thailand merupakan negara bagian Asia yang begitu banyak memiliki turis asing.”
Miranda menjelaskan begitu lugas tentang hotel milik keluarganya yang kini telah di bawah kepemimpinannya. Terlihat dirinya tampak begitu anggun kala menjelaskan itu. Meski dia kesal dengan pria yang ada di hadapannya ini, tapi dia harus tetap bersikap professional. Bagaimanapun pria itu adalah rekan bisnis perusahaannya.
“Well, konsep yang begitu menarik, Nona Miranda.” Athes menjawab seraya melihat ke fasilitas yang dimiliki hotel itu. Sesaat dia melirik Miranda yang tampak seolah berusaha untuk tenang. Ya, mereka memang tidak hanya berdua. Di samping Miranda ada Bella. Begitu pun di samping Athes, ada Henrik. Jika Athes tanpak tak peduli dengan sekitarnya, berbeda dengan Miranda yang menunjukkan seolah-olah hanya sebagai rekan bisnis.
“Terima kasih, Tuan Athes.” Miranda mengulas senyuman di wajahnya. Senyuman yang benar-benar dia paksakan di wajahnya.
“Aku rasa kau bisa menunjukkan sekarang kamar hotel terbaik di sini,” ujar Athes dengan santai.
“Baiklah, kalau begitu mari aku antar,” jawab Miranda yang mengikuti permintaan Athes.
Kini Miranda dan Athes menuju lift bersama dengan assistant mereka yang sejak tadi terus mengikuti mereka.
***
“Tuan Athes, ini adalah Presidential suite di hotel kami.” Miranda membuka salah satu kamar hotel yang bertipe Presidential suite, menunjukkannya pada Athes.
Athes hanya mengangguk singkat—dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar hotel itu. Athes mengedarkan pandangannya ke sekeliling, terlihat dia menyukai design dari hotel ini.
“Design yang menarik,” Athes mengalihkan pandangannya, menatap Miranda. “Apa kau sendiri yang memilih design ini, Nona Miranda?”
“Aku membantu ayahku memilihkan design. Sektitar tahun lalu saat aku berlibur ke Thailand, aku menyukai budaya mereka. Itu kenapa aku berpikir untuk mencampur budaya Italia bercampur budaya Thailand,” jawab Miranda dengan anggun.
Athes tersenyum. “Aku menyukai pilihanmu.”
“Terima kasih, Tuan Athes,” Miranda pun membalasnya dengan sebuah senyuman.
Athes kembali tersenyum. Kali ini senyuman misterius dan menatap seluruh penampilan Miranda hari ini. Sudah sejak tadi dia menahan, wanita di hadapannya memang sangat cantik. Terlebih gaun yang begitu melekat pas di lekuk tubuh indahnya, telah membuatnya tergoda.
“Bella, Henrik, bisa kalian tinggalkan aku berdua dengan Nona Miranda? Ada hal pribadi yang harus aku bicarakan dengannya.” Athes berucap dengan seringai kecil di wajahnya.
Seketika wajah Miranda memucat kala Athes meminta Bella dan Henrik meninggalkannya berdua. Dia berusaha untuk tenang dan menjawab, “Maaf, Tuan. Setelah ini saya masih memiliki meeting.”
“Aku rasa berbicara hanya beberapa menit bukanlah hal yang besar, Nona Miranda,” jawab Athes.
“Kalau begitu kami permisi, Tuan Athes, Nona Miranda.” Bella dan Henrik menundukkan kepala mereka di hadapan Athes dan Miranda. Kemudian mereka pamit undur diri.
“Apa yang ingin kau bicarakan padaku, Athes?” Miranda berusaha menahan kekesalannya kala Bella dan Henrik baru saja meninggalkanya berdua dengan Athes di dalam kamar hotel itu.
“Aku menyukai ketika kau hanya menyebut namaku.” Athes menyeringai. Kemudian dia melangkah mendekat. Sontak, Miranda mundur kala Athes mendekat padanya. Hingga sampai tubuh Miranda terbentur di dinding, Athes langsung mengungkung tubuhnya.
“Athes, menjauhlah dariku!” Miranda berusaha mendorong tubuh Athes, tapi nyatanya dia tidak mampu menjauhkan tubuh tegap Athes.
“Kau tahu?” Athes menarik dagu Miranda, dan menatap manik mata perak wanita itu dengan begitu lekat. “Sudah sejak tadi aku ingin berdua denganmu. Kau sangat cantik hari ini,” bisiknya tepat di depan bibir Miranda.
“Harusnya kau memang masuk rumah sakit jiwa!” seru Miranda.
Athes menyeringai. “Aku rasa kau benar. Aku tidak biasanya seperti ini pada seorang wanita. Tapi sepertinya tubuhmu telah membuatku terus menginginkannya.”
“Pergilah, Athes! Jangan menggangguku!” Miranda berusaha berontak. Namun Athes semakin menghimpit tubuhnya. Hingga membuat tubuh Miranda tidak bisa bergerak.
“Apa kau sudah memikirkan tawaranku?” Athes berbisik di telinga Miranda, seraya menggigit telinga wanita itu.
“Tawaran apa yang kau maksud?” Miranda mengangkat wajahnya, menatap Athes tajam.
“Aku menginginkanmu, Miranda,” Athes mengecup bibir Miranda, dan dengan berani dia membawa tangannya meremas gundukan kembar di bibir Miranda, hingga membuat Miranda memekik terkejut.
“Athes!” Miranda memukul tangan Athes yang bermain di dadanya itu.
“Yes,” Athes membenamkan wajahnya di leher Miranda, mencium aroma parfume wanita itu.
Miranda menggigit bibir bawahnya menahan desahan. Dia memejamkan matanya kala meraskan embusan napas Athes menyentuh kulit lehernya. Tubuhnya meremang, dia merasakan bagai tersengat aliran listrik.
Desahan dan erangan lolos di bibir Miranda saat Athes menyelipkan tangannya di balik pakaiannya. Pria itu menyentuh titik sensitive-nya. Membuat Miranda benar-benar seolah lumpuh. Harusnya Miranda mendorong atau menedang pria yang berani menyentuhnya. Tapi seketika tubuhnya sangat lemah dan tak mampu berontak.
“Aku menyukai suaramu,” Athes berbisik dengan nada rendah. Miranda mati-matian menahan desahannya, tapi sial ini benar-benar sulit karena Athes tak henti menyentuh titik sensitive tubuhnya.
Athes menurunkan ciumannya ke leher Miranda, meninggalkan jejak kemerahan di sana. Miranda memejamkan matanya kala Athes tidak henti menciumnya. Hingga kemudian, Athes membuka pengait dress yang dipakai Miranda. Bahkan Miranda tidak menyadari ketika Athes menanggalkan dress yang dipakai olehnya.
Athes membopong tubuh Miranda, reflek Miranda pun mengaitkan kakinya ke pinggang Athes. Entah apa yang dipikirkan Miranda, tapi sentuhan Athes benar-benar mampu membuatnya tidak bisa berkutik.
Kini Athes meletakkan tubuh Miranda ke atas meja, dia menatap tubuh putih mulus Miranda yang hanya terbalut panties dan bra berenda berwarna merah yang membuatnya tampak begitu seksi dan menggoda.
Athes mengecup bahu Miranda, lalu dia mulai menaggalkan semua helaian benang yang masih dipakai oleh Miranda.
“Akh!” Miranda mendesah hebat ketika Athes mengisap puncak payudaranya. Sungguh, Miranda tidak bisa lagi menahannya. Terlebih Athes kini memainkan lidahnya di puncak payudaranya.
“Athes.” Miranda mengangkat wajahnya seraya memejamkan matanya.
“Aku tahu kau menginginkannya.” Athes berbisik di telinga Miranda. Kemudian, dia mulai melepaskan helaian benang terakhir yang ada di tubuh Miranda yaitu panties berenda.
“You’re so damn beautiful,” Athes kembali berbisik. Dia membawa tangannya menyentuh inti tubuh bagian bawah Miranda.
“Akh!” Desahan dan erangan lolos di bibir Miranda ketika Athes menyentuh inti tubuh bagian bawahnya. Miranda menggelinjang. Tatapanya mulai buram tergantikan oleh gairah yang telah terbakar.
“Getting wet here.” Athes menggigit bibir bawah Miranda. “Tell me, what do you want, Miranda?” bisiknya serak.
“Put it inside, please.” Otak Miranda sudah tidak lagi berfungsi dengan baik. Dia bahkan memohon agar Athes memasukinya. Sial, Miranda benar-benar tidak mampu lagi menahan.
Athes menyeringai. “As your wish, Sweetheart.”
Athes membuka celananya dan menurunkannya setengah. Perlahan Athes mulai menyatukan miliknya ke dalam milik Miranda. Miranda menjerit kala Athes memasukinya. Milik Miranda begitu sempit dan nikmat. Bahkan Athes masih terus mengingat percintaan panas dirinya dan Miranda pertama kali.
Athes mulai menggerakkan pinggulnya dengan tempo yang pelan. Hingga saat rasa sakit Miranda tergantikan oleh kenikmatan, Athes menaikkan temponya dan mengentakkan semakin dalam.
“Athes!” Miranda meracau meneriaki nama Athes. Dia terus mendesah, dan tubuh yang berkeringat membuatnya tampak seksi.
Athes menggeram, menahan erangan miliknya begitu nikmat dijepit oleh milik Miranda. Dia semakin mengentakkan begitu dalam dan liar.
Hingga kemudian, keduanya telah mendapatkan pelepasan. Tubuh Miranda ambruk. Napasnya terengah-engah dan begitu lemas. Miranda benar-benar tidak lagi bisa berpikir jernih.
Kini Athes membopong tubuh Miranda, membawanya masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Miranda pun patuh, saat Athes menggendongnya dia langsung mengaitkan tangannya di leher Athes seraya membenamkan wajahnya di dada bidang pria itu.
Miranda menjelaskan begitu lugas tentang hotel milik keluarganya yang kini telah di bawah kepemimpinannya. Terlihat dirinya tampak begitu anggun kala menjelaskan itu. Meski dia kesal dengan pria yang ada di hadapannya ini, tapi dia harus tetap bersikap professional. Bagaimanapun pria itu adalah rekan bisnis perusahaannya.
“Well, konsep yang begitu menarik, Nona Miranda.” Athes menjawab seraya melihat ke fasilitas yang dimiliki hotel itu. Sesaat dia melirik Miranda yang tampak seolah berusaha untuk tenang. Ya, mereka memang tidak hanya berdua. Di samping Miranda ada Bella. Begitu pun di samping Athes, ada Henrik. Jika Athes tanpak tak peduli dengan sekitarnya, berbeda dengan Miranda yang menunjukkan seolah-olah hanya sebagai rekan bisnis.
“Terima kasih, Tuan Athes.” Miranda mengulas senyuman di wajahnya. Senyuman yang benar-benar dia paksakan di wajahnya.
“Aku rasa kau bisa menunjukkan sekarang kamar hotel terbaik di sini,” ujar Athes dengan santai.
“Baiklah, kalau begitu mari aku antar,” jawab Miranda yang mengikuti permintaan Athes.
Kini Miranda dan Athes menuju lift bersama dengan assistant mereka yang sejak tadi terus mengikuti mereka.
***
“Tuan Athes, ini adalah Presidential suite di hotel kami.” Miranda membuka salah satu kamar hotel yang bertipe Presidential suite, menunjukkannya pada Athes.
Athes hanya mengangguk singkat—dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar hotel itu. Athes mengedarkan pandangannya ke sekeliling, terlihat dia menyukai design dari hotel ini.
“Design yang menarik,” Athes mengalihkan pandangannya, menatap Miranda. “Apa kau sendiri yang memilih design ini, Nona Miranda?”
“Aku membantu ayahku memilihkan design. Sektitar tahun lalu saat aku berlibur ke Thailand, aku menyukai budaya mereka. Itu kenapa aku berpikir untuk mencampur budaya Italia bercampur budaya Thailand,” jawab Miranda dengan anggun.
Athes tersenyum. “Aku menyukai pilihanmu.”
“Terima kasih, Tuan Athes,” Miranda pun membalasnya dengan sebuah senyuman.
Athes kembali tersenyum. Kali ini senyuman misterius dan menatap seluruh penampilan Miranda hari ini. Sudah sejak tadi dia menahan, wanita di hadapannya memang sangat cantik. Terlebih gaun yang begitu melekat pas di lekuk tubuh indahnya, telah membuatnya tergoda.
“Bella, Henrik, bisa kalian tinggalkan aku berdua dengan Nona Miranda? Ada hal pribadi yang harus aku bicarakan dengannya.” Athes berucap dengan seringai kecil di wajahnya.
Seketika wajah Miranda memucat kala Athes meminta Bella dan Henrik meninggalkannya berdua. Dia berusaha untuk tenang dan menjawab, “Maaf, Tuan. Setelah ini saya masih memiliki meeting.”
“Aku rasa berbicara hanya beberapa menit bukanlah hal yang besar, Nona Miranda,” jawab Athes.
“Kalau begitu kami permisi, Tuan Athes, Nona Miranda.” Bella dan Henrik menundukkan kepala mereka di hadapan Athes dan Miranda. Kemudian mereka pamit undur diri.
“Apa yang ingin kau bicarakan padaku, Athes?” Miranda berusaha menahan kekesalannya kala Bella dan Henrik baru saja meninggalkanya berdua dengan Athes di dalam kamar hotel itu.
“Aku menyukai ketika kau hanya menyebut namaku.” Athes menyeringai. Kemudian dia melangkah mendekat. Sontak, Miranda mundur kala Athes mendekat padanya. Hingga sampai tubuh Miranda terbentur di dinding, Athes langsung mengungkung tubuhnya.
“Athes, menjauhlah dariku!” Miranda berusaha mendorong tubuh Athes, tapi nyatanya dia tidak mampu menjauhkan tubuh tegap Athes.
“Kau tahu?” Athes menarik dagu Miranda, dan menatap manik mata perak wanita itu dengan begitu lekat. “Sudah sejak tadi aku ingin berdua denganmu. Kau sangat cantik hari ini,” bisiknya tepat di depan bibir Miranda.
“Harusnya kau memang masuk rumah sakit jiwa!” seru Miranda.
Athes menyeringai. “Aku rasa kau benar. Aku tidak biasanya seperti ini pada seorang wanita. Tapi sepertinya tubuhmu telah membuatku terus menginginkannya.”
“Pergilah, Athes! Jangan menggangguku!” Miranda berusaha berontak. Namun Athes semakin menghimpit tubuhnya. Hingga membuat tubuh Miranda tidak bisa bergerak.
“Apa kau sudah memikirkan tawaranku?” Athes berbisik di telinga Miranda, seraya menggigit telinga wanita itu.
“Tawaran apa yang kau maksud?” Miranda mengangkat wajahnya, menatap Athes tajam.
“Aku menginginkanmu, Miranda,” Athes mengecup bibir Miranda, dan dengan berani dia membawa tangannya meremas gundukan kembar di bibir Miranda, hingga membuat Miranda memekik terkejut.
“Athes!” Miranda memukul tangan Athes yang bermain di dadanya itu.
“Yes,” Athes membenamkan wajahnya di leher Miranda, mencium aroma parfume wanita itu.
Miranda menggigit bibir bawahnya menahan desahan. Dia memejamkan matanya kala meraskan embusan napas Athes menyentuh kulit lehernya. Tubuhnya meremang, dia merasakan bagai tersengat aliran listrik.
Desahan dan erangan lolos di bibir Miranda saat Athes menyelipkan tangannya di balik pakaiannya. Pria itu menyentuh titik sensitive-nya. Membuat Miranda benar-benar seolah lumpuh. Harusnya Miranda mendorong atau menedang pria yang berani menyentuhnya. Tapi seketika tubuhnya sangat lemah dan tak mampu berontak.
“Aku menyukai suaramu,” Athes berbisik dengan nada rendah. Miranda mati-matian menahan desahannya, tapi sial ini benar-benar sulit karena Athes tak henti menyentuh titik sensitive tubuhnya.
Athes menurunkan ciumannya ke leher Miranda, meninggalkan jejak kemerahan di sana. Miranda memejamkan matanya kala Athes tidak henti menciumnya. Hingga kemudian, Athes membuka pengait dress yang dipakai Miranda. Bahkan Miranda tidak menyadari ketika Athes menanggalkan dress yang dipakai olehnya.
Athes membopong tubuh Miranda, reflek Miranda pun mengaitkan kakinya ke pinggang Athes. Entah apa yang dipikirkan Miranda, tapi sentuhan Athes benar-benar mampu membuatnya tidak bisa berkutik.
Kini Athes meletakkan tubuh Miranda ke atas meja, dia menatap tubuh putih mulus Miranda yang hanya terbalut panties dan bra berenda berwarna merah yang membuatnya tampak begitu seksi dan menggoda.
Athes mengecup bahu Miranda, lalu dia mulai menaggalkan semua helaian benang yang masih dipakai oleh Miranda.
“Akh!” Miranda mendesah hebat ketika Athes mengisap puncak payudaranya. Sungguh, Miranda tidak bisa lagi menahannya. Terlebih Athes kini memainkan lidahnya di puncak payudaranya.
“Athes.” Miranda mengangkat wajahnya seraya memejamkan matanya.
“Aku tahu kau menginginkannya.” Athes berbisik di telinga Miranda. Kemudian, dia mulai melepaskan helaian benang terakhir yang ada di tubuh Miranda yaitu panties berenda.
“You’re so damn beautiful,” Athes kembali berbisik. Dia membawa tangannya menyentuh inti tubuh bagian bawah Miranda.
“Akh!” Desahan dan erangan lolos di bibir Miranda ketika Athes menyentuh inti tubuh bagian bawahnya. Miranda menggelinjang. Tatapanya mulai buram tergantikan oleh gairah yang telah terbakar.
“Getting wet here.” Athes menggigit bibir bawah Miranda. “Tell me, what do you want, Miranda?” bisiknya serak.
“Put it inside, please.” Otak Miranda sudah tidak lagi berfungsi dengan baik. Dia bahkan memohon agar Athes memasukinya. Sial, Miranda benar-benar tidak mampu lagi menahan.
Athes menyeringai. “As your wish, Sweetheart.”
Athes membuka celananya dan menurunkannya setengah. Perlahan Athes mulai menyatukan miliknya ke dalam milik Miranda. Miranda menjerit kala Athes memasukinya. Milik Miranda begitu sempit dan nikmat. Bahkan Athes masih terus mengingat percintaan panas dirinya dan Miranda pertama kali.
Athes mulai menggerakkan pinggulnya dengan tempo yang pelan. Hingga saat rasa sakit Miranda tergantikan oleh kenikmatan, Athes menaikkan temponya dan mengentakkan semakin dalam.
“Athes!” Miranda meracau meneriaki nama Athes. Dia terus mendesah, dan tubuh yang berkeringat membuatnya tampak seksi.
Athes menggeram, menahan erangan miliknya begitu nikmat dijepit oleh milik Miranda. Dia semakin mengentakkan begitu dalam dan liar.
Hingga kemudian, keduanya telah mendapatkan pelepasan. Tubuh Miranda ambruk. Napasnya terengah-engah dan begitu lemas. Miranda benar-benar tidak lagi bisa berpikir jernih.
Kini Athes membopong tubuh Miranda, membawanya masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Miranda pun patuh, saat Athes menggendongnya dia langsung mengaitkan tangannya di leher Athes seraya membenamkan wajahnya di dada bidang pria itu.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved