Bab 13 Sedang dikerjai
by Irma W
21:48,Apr 27,2021
Sudah lumayan jauh meninggalkan area hotel, Jonan tak kunjung menemukan restoran yang katanya buka dua puluh empat jam. Anin yang mulai pegal karena terus berjalanpun mulai mengeluh lelah. Sementara Jonan, seperti lupa kalau Anin tengah kelaparan, Ia justru masih berlenggak sambil sesekali memejamkan mata menikmati udara malam hari.
Menyadari Anin tidak ada di sampingnya lagi, Jonan sontak berhenti. Memutar balik badannya, Jonan seketika mendesah tatkala melihat Anin tengah membungkuk dengan pandangan menatap jalan beraspal.
“Oh, astaga!” pekik Jonan kemudian. Ia baru teringat akan sesuatu.
Sebelum terjadi apa-apa pada Anin, Jonan segera berlari menghampirinya yang masih membungkuk sambil mengatur napas.
“E, Anin. Aku … e …”
“Cukup!” hardik Anin sambil menatap kedua kaki Jonan yang beralaskan sandal kulit.
Jonan garuk-garuk kepala sambil meringis getir. Ia tahu kalau setelah ini Anin pasti akan teriak marah-marah.
Anin menegakkan badan. Menengadahkan kedua telapak tangan dan mendorong ke atas, Anin menarik napas dalam-dalam. Barulah setelah mengembus keluar, saat itu juga Anin memelototi Jonan.
“Kau!” Anin sampai menunjuk tepat di depan hidung Jonan. Sampai-sampai Jonan menggerakkan kedua bola matanya ke tengah.
Jonan meringis sambil tangan.
Anin seketika mengeram sambil menghentakkan kaki. “Kapan kau berhenti mengusili aku, ha!”
Masih unjuk gigi, Jonan membuang pandangan. “Maaf aku lupa. Aku terlalu menikmati suasana malam.”
“Jahat sekali! Aku kelaparan, kamu malah mengajakku muter-muter saja!” sembur Anin.
Jonan yang mengaku salah, hanya pasrah saat Anin memukulinya berkali-kali.
“Sakit,” keluh Jonan kemudian.
“Aku nggak peduli!” Anin masih memukuli tubuh Jonan. “Kalau sudah larut begini bagaimana? Mana ada restoran yang buka?”
Anin merengek lalu terduduk di tepian jalan. “Aku lelah. Aku lapar. Hwaaa!”
Mendengar teriakan dan rengekkan Anin, Jonan menjadi panik sendiri. Jonan segera ikut jongkok kemudian meraih kedua lutut Anin.
“Hei, jangan teriak begitu. Kalau ada yang lihat bagaimana?”
Anin berhenti lalu menatap Jonan. “Kamu pikir malam-malam begini ada orang?”
Jonan meringis lagi. Sebelum Anin merengek lagi, Jonan sudah lebih dulu menyela. “Begini saja, kita kembali ke hotel, lalu minta pelayan hotel untuk menyiapkan makanan.”
Anin membulatkan pandangan. “Emang bisa?”
Jonan mengangguk. “Semoga saja.”
“Sialan!” umpat Anin. Anin mendadak berdiri hingga membuat Jonan yang semula berjongkok di hadapan Anin terjengkang.
“Untuk apa kamu membawaku muter-muter, kalau ternyata di hotel ada makanan?” Anin mendengus kemudian berbalik ke jalan utama.
“Eh, tunggu!” Jonan buru-buru menyusuk Anin yang susah berjalan kembali ke hotel.
“Tunggu sebentar.” Jonan meraih pundak Anin kemudian berpindah berdiri tepat di depan Anin.
“Ada apa?”
Tidak memberi jawaban, Jonan lantas berbalik padan kemudian menunjuk ke arah punggungnya sendiri. “Naiklah!”
“Apa?” pekik Anin. “Apa maksud kamu?”
“Kamu pasti capek. Biar aku gendong.” Jonan sudah merendahkan badan sedikit mencondong ke depan. “Ayo naik.”
Anin berdengung dan nampak berpikir. “Serius?”
“Iya. Sudah, cepetan.”
Meskipun ragu, akhirnya Anin berjinjit kemudian melompat hingga mendarat di atas punggung Jonan.
“Ternyata kamu berat,” kata Jonan dengan suara dibuat tertahan. “Bisa pingsan kalau begini.”
“JONAN!” teriak Anin membuat telinga Jonan sampai berdengung. “Kalau tidak niat, mending turunkan aku saja!”
Jonan lantas mendengkus kemudian mengeratkan kedua tangan di antara siku kaki bagian dalam milik Anin. “Kamu pikir aku lemah. Berjalan satu kilo pun aku kuat kalau cuma menggendong kamu.”
“Beh!” cibir Anin. “Sombong sekali!”
Pertengkaran mulut terus berlanjut sepanjang perjalanan kembali ke hotel. Anin yang harusnya bersedih karena sang suami entah tidur di mana, kini otaknya justru sama sekali tidak mengingat tentang Bagas. Anin sedang menikmati malam dingin ini bersama sosok Jonan yang hampir setiap saat selalu mengganggunya.
“Turunkan aku!” pinta Anin. Anin menendang-nendang kaki di udara.
“Iya, iya, tunggu sebentar.”
Saat Jonan sudah merendahkan tubuhnya, secara perlahan Anin merosot hingga kedua kakinya mendarat di paving block halaman hotel. Namun, saat satu kakinya menyusul, belum sempat mendarat dengan pas, saat itu juga kaki Anin terkilir.
“Aw!”
Jeritan kecil itu membuat Jonan refleks berbalik dan menangkap tubuh Anih. “Kamu nggak pa-pa?” tanya Jonan.
Anin menggeleng. “Cuma terkilir. Nggak sakit kok.” Sambil menjawab, Anin menggoyang-goyangkan telapak kakinya.
“Beneran?” tanya Jonan. Jonan hampir saja berjongkok untuk memeriksa, tapi buru-buru Anin cegah.
Karena reaksi itu, pada akhirnya keduanya saling pandang dengan jarak yang begitu dekat. Mata keduanya saling beradu seperti sedang bertanya-tanya pada isi hati masing-masing. Kian dekat, pandangan Anin maupun Jonan mendadak kabur, dan sebuah sentuhan sama-sama menyentuh bibir masing-masing.
Tidak ada yang berkutik. Semua nampak diam sebanding dengan suasana malam yang semakin larut. Bibir keduanya masih menyatu tanpa reaksi berlebihan. Hingga kedua mata mereka terbuka, barulah Anin terhenyak dan mundur.
“Jonan, ka-kau ...” Anin berkedip-kedip dengan satu jari mendarat menyentuh bibir. Bibir lembut yang baru saja dikecup oleh Jonan.
Jonan mundur. “Maaf, Aku nggak sengaja. Aku cuma ... aku nggak tahan lihat kamu.”
Anin masih mematung sambil menggigit bibir yang saat ini tertutup ketiga jarinya. Matanya sendu masih menatap Jonan yang terlihat kebingungan.
“Ke-kenapa kamu lakukan ini sama aku, Jonan?” tanya Anin. Anin tiba-tiba menunduk kemudian berjalan meninggalkan Anin.
“Maafkan aku.” Jonan menyusul lalu memeluk Anin dari belakang. “Aku nggak bermaksud. Aku ... aku ... kamu tahu maksud aku, Anin.” Kalimat itu terdengar terbata-bata.
Jonan yang tak kuasa, semakin mengeratkan pelukan sambil membenamkan wajah di bagian pundak Anin. “Aku mohon mengertilah, Anin.”
Anin tersenyum getir. Dua tangannya terangkat lalu meraih kedua lengan Jonan yang mendekapnya dari belakang. Sesaat Anin diam. Pelukan ini salah, tapi sangat hangat dan nyaman.
“Harusnya kamu yang mengerti aku ...” Anin berkata. “Berhentilah mengasihaniku. Aku memang menyedihkan, tapi aku mohon jangan begini.”
Anin menarik kedua lengan kekar itu hingga terlepas. Setelah benar-benar lepas, Anin kemudian berjalan menjauh tanpa sepata kata pun dan berlalu meninggalkan Jonan.
Jonan sendiri, ia masih termenung memandangi langkah Anin yang kian menjauh. “Anin, apa kamu masih belum mengerti juga tentang perasaanku? Kapan kamu paham? Kamu selalu saja mengira perhatianku hanya sebatas kasihan. Kamu salah, Anin. Salah!”
Anin sudah kembali ke kamar, pun dengan Bagas. Keduanya sama-sama sedang membaringkan badan di atas ranjang. Bedanya, jika Anin tidur menelungkup, kalau Jonan tidur telentang.
Pikiran mereka sama-sama kacau. Ini bukan satu kali ciuman itu terjadi. Pernah beberapa hari yang lalu, Jonan mencium Anin tanpa meminta persetujuan. Anin tidak memungkiri kalau semua itu terasa nyaman, hanya saja ... semua ini salah.
“Aku istri Bagas, tapi bersentuhan lebih dengan Bagas pun belum pernah. Tapi dengan Jonan ...” Anin menelungkupkan wajah semakin dalam di balik bantal.
“Harusnya kamu tahu kalau perasaanku sungguh-sungguh.” Jonan sendiri masih telentang memandangi langit-langit kamarnya. “Kamu harus tahu, Anin.”
***
Menyadari Anin tidak ada di sampingnya lagi, Jonan sontak berhenti. Memutar balik badannya, Jonan seketika mendesah tatkala melihat Anin tengah membungkuk dengan pandangan menatap jalan beraspal.
“Oh, astaga!” pekik Jonan kemudian. Ia baru teringat akan sesuatu.
Sebelum terjadi apa-apa pada Anin, Jonan segera berlari menghampirinya yang masih membungkuk sambil mengatur napas.
“E, Anin. Aku … e …”
“Cukup!” hardik Anin sambil menatap kedua kaki Jonan yang beralaskan sandal kulit.
Jonan garuk-garuk kepala sambil meringis getir. Ia tahu kalau setelah ini Anin pasti akan teriak marah-marah.
Anin menegakkan badan. Menengadahkan kedua telapak tangan dan mendorong ke atas, Anin menarik napas dalam-dalam. Barulah setelah mengembus keluar, saat itu juga Anin memelototi Jonan.
“Kau!” Anin sampai menunjuk tepat di depan hidung Jonan. Sampai-sampai Jonan menggerakkan kedua bola matanya ke tengah.
Jonan meringis sambil tangan.
Anin seketika mengeram sambil menghentakkan kaki. “Kapan kau berhenti mengusili aku, ha!”
Masih unjuk gigi, Jonan membuang pandangan. “Maaf aku lupa. Aku terlalu menikmati suasana malam.”
“Jahat sekali! Aku kelaparan, kamu malah mengajakku muter-muter saja!” sembur Anin.
Jonan yang mengaku salah, hanya pasrah saat Anin memukulinya berkali-kali.
“Sakit,” keluh Jonan kemudian.
“Aku nggak peduli!” Anin masih memukuli tubuh Jonan. “Kalau sudah larut begini bagaimana? Mana ada restoran yang buka?”
Anin merengek lalu terduduk di tepian jalan. “Aku lelah. Aku lapar. Hwaaa!”
Mendengar teriakan dan rengekkan Anin, Jonan menjadi panik sendiri. Jonan segera ikut jongkok kemudian meraih kedua lutut Anin.
“Hei, jangan teriak begitu. Kalau ada yang lihat bagaimana?”
Anin berhenti lalu menatap Jonan. “Kamu pikir malam-malam begini ada orang?”
Jonan meringis lagi. Sebelum Anin merengek lagi, Jonan sudah lebih dulu menyela. “Begini saja, kita kembali ke hotel, lalu minta pelayan hotel untuk menyiapkan makanan.”
Anin membulatkan pandangan. “Emang bisa?”
Jonan mengangguk. “Semoga saja.”
“Sialan!” umpat Anin. Anin mendadak berdiri hingga membuat Jonan yang semula berjongkok di hadapan Anin terjengkang.
“Untuk apa kamu membawaku muter-muter, kalau ternyata di hotel ada makanan?” Anin mendengus kemudian berbalik ke jalan utama.
“Eh, tunggu!” Jonan buru-buru menyusuk Anin yang susah berjalan kembali ke hotel.
“Tunggu sebentar.” Jonan meraih pundak Anin kemudian berpindah berdiri tepat di depan Anin.
“Ada apa?”
Tidak memberi jawaban, Jonan lantas berbalik padan kemudian menunjuk ke arah punggungnya sendiri. “Naiklah!”
“Apa?” pekik Anin. “Apa maksud kamu?”
“Kamu pasti capek. Biar aku gendong.” Jonan sudah merendahkan badan sedikit mencondong ke depan. “Ayo naik.”
Anin berdengung dan nampak berpikir. “Serius?”
“Iya. Sudah, cepetan.”
Meskipun ragu, akhirnya Anin berjinjit kemudian melompat hingga mendarat di atas punggung Jonan.
“Ternyata kamu berat,” kata Jonan dengan suara dibuat tertahan. “Bisa pingsan kalau begini.”
“JONAN!” teriak Anin membuat telinga Jonan sampai berdengung. “Kalau tidak niat, mending turunkan aku saja!”
Jonan lantas mendengkus kemudian mengeratkan kedua tangan di antara siku kaki bagian dalam milik Anin. “Kamu pikir aku lemah. Berjalan satu kilo pun aku kuat kalau cuma menggendong kamu.”
“Beh!” cibir Anin. “Sombong sekali!”
Pertengkaran mulut terus berlanjut sepanjang perjalanan kembali ke hotel. Anin yang harusnya bersedih karena sang suami entah tidur di mana, kini otaknya justru sama sekali tidak mengingat tentang Bagas. Anin sedang menikmati malam dingin ini bersama sosok Jonan yang hampir setiap saat selalu mengganggunya.
“Turunkan aku!” pinta Anin. Anin menendang-nendang kaki di udara.
“Iya, iya, tunggu sebentar.”
Saat Jonan sudah merendahkan tubuhnya, secara perlahan Anin merosot hingga kedua kakinya mendarat di paving block halaman hotel. Namun, saat satu kakinya menyusul, belum sempat mendarat dengan pas, saat itu juga kaki Anin terkilir.
“Aw!”
Jeritan kecil itu membuat Jonan refleks berbalik dan menangkap tubuh Anih. “Kamu nggak pa-pa?” tanya Jonan.
Anin menggeleng. “Cuma terkilir. Nggak sakit kok.” Sambil menjawab, Anin menggoyang-goyangkan telapak kakinya.
“Beneran?” tanya Jonan. Jonan hampir saja berjongkok untuk memeriksa, tapi buru-buru Anin cegah.
Karena reaksi itu, pada akhirnya keduanya saling pandang dengan jarak yang begitu dekat. Mata keduanya saling beradu seperti sedang bertanya-tanya pada isi hati masing-masing. Kian dekat, pandangan Anin maupun Jonan mendadak kabur, dan sebuah sentuhan sama-sama menyentuh bibir masing-masing.
Tidak ada yang berkutik. Semua nampak diam sebanding dengan suasana malam yang semakin larut. Bibir keduanya masih menyatu tanpa reaksi berlebihan. Hingga kedua mata mereka terbuka, barulah Anin terhenyak dan mundur.
“Jonan, ka-kau ...” Anin berkedip-kedip dengan satu jari mendarat menyentuh bibir. Bibir lembut yang baru saja dikecup oleh Jonan.
Jonan mundur. “Maaf, Aku nggak sengaja. Aku cuma ... aku nggak tahan lihat kamu.”
Anin masih mematung sambil menggigit bibir yang saat ini tertutup ketiga jarinya. Matanya sendu masih menatap Jonan yang terlihat kebingungan.
“Ke-kenapa kamu lakukan ini sama aku, Jonan?” tanya Anin. Anin tiba-tiba menunduk kemudian berjalan meninggalkan Anin.
“Maafkan aku.” Jonan menyusul lalu memeluk Anin dari belakang. “Aku nggak bermaksud. Aku ... aku ... kamu tahu maksud aku, Anin.” Kalimat itu terdengar terbata-bata.
Jonan yang tak kuasa, semakin mengeratkan pelukan sambil membenamkan wajah di bagian pundak Anin. “Aku mohon mengertilah, Anin.”
Anin tersenyum getir. Dua tangannya terangkat lalu meraih kedua lengan Jonan yang mendekapnya dari belakang. Sesaat Anin diam. Pelukan ini salah, tapi sangat hangat dan nyaman.
“Harusnya kamu yang mengerti aku ...” Anin berkata. “Berhentilah mengasihaniku. Aku memang menyedihkan, tapi aku mohon jangan begini.”
Anin menarik kedua lengan kekar itu hingga terlepas. Setelah benar-benar lepas, Anin kemudian berjalan menjauh tanpa sepata kata pun dan berlalu meninggalkan Jonan.
Jonan sendiri, ia masih termenung memandangi langkah Anin yang kian menjauh. “Anin, apa kamu masih belum mengerti juga tentang perasaanku? Kapan kamu paham? Kamu selalu saja mengira perhatianku hanya sebatas kasihan. Kamu salah, Anin. Salah!”
Anin sudah kembali ke kamar, pun dengan Bagas. Keduanya sama-sama sedang membaringkan badan di atas ranjang. Bedanya, jika Anin tidur menelungkup, kalau Jonan tidur telentang.
Pikiran mereka sama-sama kacau. Ini bukan satu kali ciuman itu terjadi. Pernah beberapa hari yang lalu, Jonan mencium Anin tanpa meminta persetujuan. Anin tidak memungkiri kalau semua itu terasa nyaman, hanya saja ... semua ini salah.
“Aku istri Bagas, tapi bersentuhan lebih dengan Bagas pun belum pernah. Tapi dengan Jonan ...” Anin menelungkupkan wajah semakin dalam di balik bantal.
“Harusnya kamu tahu kalau perasaanku sungguh-sungguh.” Jonan sendiri masih telentang memandangi langit-langit kamarnya. “Kamu harus tahu, Anin.”
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved