Bab 5 Pertemuan membekas di hati
by ZuniaZuny
15:53,Oct 24,2023
"Benarkah mas?"
"Iya dek, mas Satria janji."
Semua sahabat tersenyum mengangguk, setuju dengan sikap Satria.
Teguh memberi kode pada semua sahabatnya untuk menyuarakan unek unek mereka.
"Saat ini Thika ikut numpang hidup di rumah kakaknya yaitu Indah," ucap Yuli.
"Kedua anaknya ikut Thika kesini dan hal ini memberatkan Indah," jelas teguh.
"Kita harus membantu Thika agar tidak menjadi beban kakaknya, benar kan Satria?" tanya Sholeh disertai semua anggukan dari sahabat lainnya.
Satria mengangguk, mencoba berpikir mencari solusi yang terbaik.
'Jika aku memberi tempat, uang dan membiayai sekolah anak anak Thika, Shafira pasti marah,' batin Satria.
"Kalian benar sekali tapi aku sudah berkeluarga dan kondisi keuanganku tidak seperti dulu," ucap Satria mencoba jujur dengan keadaan dirinya saat ini.
Semua sahabatnya mulai berunding dan lagi lagi teguh yang membuka suara.
"Kami hanya mengharapkan saran darimu Satria."
"Jika masalah biaya ini itu biar kami yang menanggungnya," jelas Yuli.
"Benar kan teman teman?"
Semua mengangguk setuju membuat Satria tersenyum bahagia, sahabat sahabatnya sungguh kompak dan mempunyai solidaritas yang tinggi.
"Baiklah kalau begitu. Bagaimana jika anak Thika yang akan memasuki Smp dibiayai dari sepuluh orang ini?" tanya Satria meminta persetujuan.
"Bagaimana teman teman?"
"Ya kami setuju!" ucap semua sahabat beserta istrinya serempak.
"Aku bisa mengatakan ini karena kalian datang bersama istri istri kalian jadi tak ada yang ditutup tutupi lagi," jelas Satria.
"Lalu dengan anak Thika yang kuliah?" tanya Yuli.
Sebenarnya Thika tak mau membahas Angel, anak pertama yang masih kuliah namun Satria dan sahabat lain harus tahu hal ini.
"Sebenarnya Angel sudah menikah dengan Akhtar namun baru sebulan menikah Akhtar menceraikan Angel.
Karena ini, Angel memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya," jelas Thika.
"Kuliahnya tinggal satu tahun kan ya?" tanya Teguh dan dijawab anggukan pelan dari Thika.
"Bagaimana untuk Angel ini kawan kawan?" imbuh Teguh.
Satria memandang sayu dan mulai berkata, "bagaimana jika kita ambil lima orang saja yang merasa mampu?"
Yuli, Teguh, Sholeh dan Satria mengangkat tangan tanda setuju.
"Masih kurang satu lagi. Yang lain, adakah yang berkenan?"
Yadi mengacungkan tangan dan mendekat.
"Ok sudah pas ya lima orang," jelas Sholeh membuat Satria dan yang lainnya ikut lega.
Thika sangat bahagia, satu masalah dalam hidupnya teratasi dan semua itu berkat Satria, lelaki yang pernah menjadi bagian dalam hidupnya.
"Terima kasih mas?"
"Sama sama dek. Berterima kasih lah kepada sahabat- sahabat ini," ucap Satria merendah.
Akhirnya masalah Thika teratasi. Kini waktunya bersenang senang.
Satria dan yang lainnya makan dengan nikmat sambil sesekali bersenda gurau membicarakan kehidupan masing masing. Hal ini membuat Thika tak nyaman karena semua bercerita tentang kebahagiaan keluarga mereka sedangkan Thika tak mendapati itu.
Thika berhenti makan dan berlari sambil menangis membuat Satria mencoba menenangkan dengan berlari mengejarnya.
"Ada apa dek?"
"Hiks."
"Hiks."
Melihat Thika menangis, Satria mengambil sapu tangan dan mengusap air mata di pipi Thika.
"Mas ini kan?"
Thika terkejut melihat saputangan yang tak asing di tangan Satria.
Ya, saputangan itu adalah pemberian Thika saat mereka masih berpacaran dulu.
Thika sungguh tak menyangka jika saputangan itu masih terawat rapi setelah bertahun tahun lamanya.
"Ambil saja Thika, itu kan milikmu," ucap Satria mengembalikan saputangan tersebut kepada Thika.
"Baiklah kalau begitu mas."
"Sudahlah dek, jangan menangis terus, lihatlah matamu sampai bengkak begitu."
"Tapi mas, semuanya sudah berkeluarga dan bahagia dengan kehidupan masing masing, sedangkan aku?" keluh Thika membuat Satria tersenyum.
"Bahkan mas sendiri juga menceritakan kebahagiaan rumah tangga mas dengan antusias sekali," keluh Thika.
Satria tersenyum manis, senyuman yang memabukkan bagi Thika, dulu dan sekarang.
"Mereka menceritakan kebahagiaan belum tentu mereka benar benar bahagia dek!" ucap Satria sambil menyelipkan anak rambut yang terurai.
"Benarkah mas?"
Satria mengangguk.
"Jadi jangan pernah berkecil hati, tetap tersenyum dan menghadapi semua masalah ini dengan lapang karena sejatinya yang kita lihat belum tentu benar di dalamnya.
Jika kamu butuh saran, hubungi aku kapanpun kamu mau. Ok?"
Thika memandang nanar pada Satria seolah tak percaya ucapan lelaki di depannya ini.
"Benarkah mas?"
"Iya."
"Bagaimana jika istrimu cemburu dan marah?"
"Kenapa istriku harus marah?" tanya Satria heran membuat Thika mengedikkan bahu.
"Nanti setelah sampai rumah, aku akan menceritakan semuanya kepada istriku. Dia berhak tahu apa yang aku lakukan saat ini bersamamu," jelas Satria.
Thika hanya bisa mengangguk dan mencoba percaya pada Satria, lelaki yang dulu di puja puja.
Mereka kembali makan tanpa bercerita lagi, seolah mereka menyadari dan menjaga perasaan masing masing. Mereka makan dalam hening, melupakan kehidupan di rumah saat ini.
Apakah anak istri sudah makan?
Mereka sedang apa? Apakah menunggu pulang? Apakah mereka merindukannya?
Semua ucapan itu tak akan dipikirkan oleh lelaki jika di luar, apalagi bersama cewek, rekan kerja, rekan kantor bahkan sahabatnya.
Seperti Satria yang tak memikirkan Shafira sedetikpun. Padahal saat ini, punggungnya terasa sakit sekali.
Semua itu hanya dapat dirasakan Shafira seorang diri.
Rumah Shafira.
"Aduh, punggungku sakitnya," ucap Shafira mengelus pelan punggungnya yang sakit.
Dirinya kelelahan akibat sibuk membereskan rumah. Hari ini ibu mertua datang ke rumah dan memutuskan untuk ikut tinggal bersama Satria dengan alasan Shafira sebentar lagi melahirkan jadi dia akan membantu merawat cucunya.
"Sudah larut, mas Satria kok belum pulang juga."
"Apa aku telepon saja?"
Shafira memegang gawai ingin menghubungi sang suami namun di urungkannya.
"Sudahlah, aku buat istirahat saja, mana punggungku sakit sekali ini."
Setelah mengomel tak jelas Shafira memutuskan untuk tidur.
Pukul 01.00 dini hari.
"Ceklek."
Satria masuk kamar dan melihat sang istri sudah tertidur pulas.
Dirinya sudah bersiap untuk tidur dengan piyama coklat menempel di tubuhnya. Sebelum tidur, dipandang sekilas wajah lelap sang istri. Pandangan yang sangat sulit dijelaskan.
Puas memandangi sang istri, Satria memutuskan untuk tidur. Dia melupakan ciuman hangat di kening sebagai pengantar tidur. Setiap malam, Satria selalu mencium kening sang istri ketika dirinya hendak tidur namun kali ini hal itu tidak terjadi dan siapa sangka jika setelah ini Satria tak lagi mencium kening istrinya.
Satu perubahan kecil yang membawa dampak besar bagi kehidupan mereka ke depannya.
Satria mencoba memejamkan mata namun tak bisa, pertemuan tadi seolah berputar kembali di depan mata. Tanpa sadar Satria tersenyum dan berharap bisa bertemu lagi dengan Thika.
"Drrrt, drrrtt."
Ponsel Satria bergetar membuat Satria segera membuka notifikasi pesan yang datang.
'Thika!?'
Dengan penasaran Satria segera membuka pesan tersebut.
{Assalamualaikum mas, apakah sudah tidur? Aku mau berterima kasih banyak karena mas sudah mau bertemu dan mendengarkan keluh kesahku. Mimpi indah ya mas, good night.}
Satria tersenyum dan menutup mata berharap bisa bertemu Thika di alam mimpi.
Esok hari.
"Tadi malam pulang jam berapa kamu mas?" tanya Shafira saat duduk santai setelah sarapan bersama dan mengantar sekolah kedua anaknya.
Satria menyesap kopi dan menjawab santai, "jam satu pagi ma."
Satria memandang sang istri yang menanggapi biasa saja.
"Ma, ada yang mau aku katakan."
"Apa itu mas?"
"Ini soal Thika."
"Ada apa dengan Thika??????"
Apakah Satria akan jujur menceritakan semuanya kepada Shafira?
"Iya dek, mas Satria janji."
Semua sahabat tersenyum mengangguk, setuju dengan sikap Satria.
Teguh memberi kode pada semua sahabatnya untuk menyuarakan unek unek mereka.
"Saat ini Thika ikut numpang hidup di rumah kakaknya yaitu Indah," ucap Yuli.
"Kedua anaknya ikut Thika kesini dan hal ini memberatkan Indah," jelas teguh.
"Kita harus membantu Thika agar tidak menjadi beban kakaknya, benar kan Satria?" tanya Sholeh disertai semua anggukan dari sahabat lainnya.
Satria mengangguk, mencoba berpikir mencari solusi yang terbaik.
'Jika aku memberi tempat, uang dan membiayai sekolah anak anak Thika, Shafira pasti marah,' batin Satria.
"Kalian benar sekali tapi aku sudah berkeluarga dan kondisi keuanganku tidak seperti dulu," ucap Satria mencoba jujur dengan keadaan dirinya saat ini.
Semua sahabatnya mulai berunding dan lagi lagi teguh yang membuka suara.
"Kami hanya mengharapkan saran darimu Satria."
"Jika masalah biaya ini itu biar kami yang menanggungnya," jelas Yuli.
"Benar kan teman teman?"
Semua mengangguk setuju membuat Satria tersenyum bahagia, sahabat sahabatnya sungguh kompak dan mempunyai solidaritas yang tinggi.
"Baiklah kalau begitu. Bagaimana jika anak Thika yang akan memasuki Smp dibiayai dari sepuluh orang ini?" tanya Satria meminta persetujuan.
"Bagaimana teman teman?"
"Ya kami setuju!" ucap semua sahabat beserta istrinya serempak.
"Aku bisa mengatakan ini karena kalian datang bersama istri istri kalian jadi tak ada yang ditutup tutupi lagi," jelas Satria.
"Lalu dengan anak Thika yang kuliah?" tanya Yuli.
Sebenarnya Thika tak mau membahas Angel, anak pertama yang masih kuliah namun Satria dan sahabat lain harus tahu hal ini.
"Sebenarnya Angel sudah menikah dengan Akhtar namun baru sebulan menikah Akhtar menceraikan Angel.
Karena ini, Angel memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya," jelas Thika.
"Kuliahnya tinggal satu tahun kan ya?" tanya Teguh dan dijawab anggukan pelan dari Thika.
"Bagaimana untuk Angel ini kawan kawan?" imbuh Teguh.
Satria memandang sayu dan mulai berkata, "bagaimana jika kita ambil lima orang saja yang merasa mampu?"
Yuli, Teguh, Sholeh dan Satria mengangkat tangan tanda setuju.
"Masih kurang satu lagi. Yang lain, adakah yang berkenan?"
Yadi mengacungkan tangan dan mendekat.
"Ok sudah pas ya lima orang," jelas Sholeh membuat Satria dan yang lainnya ikut lega.
Thika sangat bahagia, satu masalah dalam hidupnya teratasi dan semua itu berkat Satria, lelaki yang pernah menjadi bagian dalam hidupnya.
"Terima kasih mas?"
"Sama sama dek. Berterima kasih lah kepada sahabat- sahabat ini," ucap Satria merendah.
Akhirnya masalah Thika teratasi. Kini waktunya bersenang senang.
Satria dan yang lainnya makan dengan nikmat sambil sesekali bersenda gurau membicarakan kehidupan masing masing. Hal ini membuat Thika tak nyaman karena semua bercerita tentang kebahagiaan keluarga mereka sedangkan Thika tak mendapati itu.
Thika berhenti makan dan berlari sambil menangis membuat Satria mencoba menenangkan dengan berlari mengejarnya.
"Ada apa dek?"
"Hiks."
"Hiks."
Melihat Thika menangis, Satria mengambil sapu tangan dan mengusap air mata di pipi Thika.
"Mas ini kan?"
Thika terkejut melihat saputangan yang tak asing di tangan Satria.
Ya, saputangan itu adalah pemberian Thika saat mereka masih berpacaran dulu.
Thika sungguh tak menyangka jika saputangan itu masih terawat rapi setelah bertahun tahun lamanya.
"Ambil saja Thika, itu kan milikmu," ucap Satria mengembalikan saputangan tersebut kepada Thika.
"Baiklah kalau begitu mas."
"Sudahlah dek, jangan menangis terus, lihatlah matamu sampai bengkak begitu."
"Tapi mas, semuanya sudah berkeluarga dan bahagia dengan kehidupan masing masing, sedangkan aku?" keluh Thika membuat Satria tersenyum.
"Bahkan mas sendiri juga menceritakan kebahagiaan rumah tangga mas dengan antusias sekali," keluh Thika.
Satria tersenyum manis, senyuman yang memabukkan bagi Thika, dulu dan sekarang.
"Mereka menceritakan kebahagiaan belum tentu mereka benar benar bahagia dek!" ucap Satria sambil menyelipkan anak rambut yang terurai.
"Benarkah mas?"
Satria mengangguk.
"Jadi jangan pernah berkecil hati, tetap tersenyum dan menghadapi semua masalah ini dengan lapang karena sejatinya yang kita lihat belum tentu benar di dalamnya.
Jika kamu butuh saran, hubungi aku kapanpun kamu mau. Ok?"
Thika memandang nanar pada Satria seolah tak percaya ucapan lelaki di depannya ini.
"Benarkah mas?"
"Iya."
"Bagaimana jika istrimu cemburu dan marah?"
"Kenapa istriku harus marah?" tanya Satria heran membuat Thika mengedikkan bahu.
"Nanti setelah sampai rumah, aku akan menceritakan semuanya kepada istriku. Dia berhak tahu apa yang aku lakukan saat ini bersamamu," jelas Satria.
Thika hanya bisa mengangguk dan mencoba percaya pada Satria, lelaki yang dulu di puja puja.
Mereka kembali makan tanpa bercerita lagi, seolah mereka menyadari dan menjaga perasaan masing masing. Mereka makan dalam hening, melupakan kehidupan di rumah saat ini.
Apakah anak istri sudah makan?
Mereka sedang apa? Apakah menunggu pulang? Apakah mereka merindukannya?
Semua ucapan itu tak akan dipikirkan oleh lelaki jika di luar, apalagi bersama cewek, rekan kerja, rekan kantor bahkan sahabatnya.
Seperti Satria yang tak memikirkan Shafira sedetikpun. Padahal saat ini, punggungnya terasa sakit sekali.
Semua itu hanya dapat dirasakan Shafira seorang diri.
Rumah Shafira.
"Aduh, punggungku sakitnya," ucap Shafira mengelus pelan punggungnya yang sakit.
Dirinya kelelahan akibat sibuk membereskan rumah. Hari ini ibu mertua datang ke rumah dan memutuskan untuk ikut tinggal bersama Satria dengan alasan Shafira sebentar lagi melahirkan jadi dia akan membantu merawat cucunya.
"Sudah larut, mas Satria kok belum pulang juga."
"Apa aku telepon saja?"
Shafira memegang gawai ingin menghubungi sang suami namun di urungkannya.
"Sudahlah, aku buat istirahat saja, mana punggungku sakit sekali ini."
Setelah mengomel tak jelas Shafira memutuskan untuk tidur.
Pukul 01.00 dini hari.
"Ceklek."
Satria masuk kamar dan melihat sang istri sudah tertidur pulas.
Dirinya sudah bersiap untuk tidur dengan piyama coklat menempel di tubuhnya. Sebelum tidur, dipandang sekilas wajah lelap sang istri. Pandangan yang sangat sulit dijelaskan.
Puas memandangi sang istri, Satria memutuskan untuk tidur. Dia melupakan ciuman hangat di kening sebagai pengantar tidur. Setiap malam, Satria selalu mencium kening sang istri ketika dirinya hendak tidur namun kali ini hal itu tidak terjadi dan siapa sangka jika setelah ini Satria tak lagi mencium kening istrinya.
Satu perubahan kecil yang membawa dampak besar bagi kehidupan mereka ke depannya.
Satria mencoba memejamkan mata namun tak bisa, pertemuan tadi seolah berputar kembali di depan mata. Tanpa sadar Satria tersenyum dan berharap bisa bertemu lagi dengan Thika.
"Drrrt, drrrtt."
Ponsel Satria bergetar membuat Satria segera membuka notifikasi pesan yang datang.
'Thika!?'
Dengan penasaran Satria segera membuka pesan tersebut.
{Assalamualaikum mas, apakah sudah tidur? Aku mau berterima kasih banyak karena mas sudah mau bertemu dan mendengarkan keluh kesahku. Mimpi indah ya mas, good night.}
Satria tersenyum dan menutup mata berharap bisa bertemu Thika di alam mimpi.
Esok hari.
"Tadi malam pulang jam berapa kamu mas?" tanya Shafira saat duduk santai setelah sarapan bersama dan mengantar sekolah kedua anaknya.
Satria menyesap kopi dan menjawab santai, "jam satu pagi ma."
Satria memandang sang istri yang menanggapi biasa saja.
"Ma, ada yang mau aku katakan."
"Apa itu mas?"
"Ini soal Thika."
"Ada apa dengan Thika??????"
Apakah Satria akan jujur menceritakan semuanya kepada Shafira?
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved