Bab 10 Suami Istri Itu Seperti?
by Azalea_
10:38,Aug 16,2023
Perasaan Hanif begitu berbunga ketika menyambut istrinya yang sangat cantik dengan gaun yang dipilih oleh Renjana sendiri. Dia ingin tersenyum dan semua orang menyaksikan pesta hari ini.
Resepsinya terbilang sangat mewah, meski undangan tidak keseluruhan, tapi ini adalah hari bahagia mereka berdua.
Hanif mengulurkan tangannya menyambut Renjana.
Menjadi raja dan ratu dalam sehari sudah pasti membahagiakan. Apalagi Hanif yang memang ingin menikah satu kali dalam hidupnya. Memiliki istri yang cantik, dan juga meski pilihan orangtua. Tapi dia sudah berjanji akan mencintai Renjana.
Ketika wanita ini masuk ke dalam hidupnya, ia sudah berjanji bukan hanya pada orangtua saja. Tapi juga berjanji pada Tuhan. Artinya dia akan hidup selamanya untuk Renjana
Menyentuh Renjana, mungkin masih belum untuk Hanif. Dia tidak ingin mengagetkan pernikahannya ini dengan keinginannya untuk haknya itu. Tetap saja dia juga canggung pada Renjana. Mereka masih menjalani
tahap pacaran—pacaran setelah menikah. Sungguh dia tidak pernah membayangkan kalau dia akan berjodoh dengan Renjana.
Sekadar mencium kening, mungkin masih tahap wajar bagi Hanif.
Belum menurun ke bibir dan yang lainnya.
Hanif juga sangat memahami keadaan itu. Jangan buru-buru untuk melakukannya. Dia selalu mengingatkan diri sendiri untuk satu hal itu.
Melihat orangtuanya juga bahagia, jelas saja Hanif juga merasa bahagia bisa melihat orangtuanya bisa tersenyum.
Para tamu juga memberikan selamat untuknya. “Nggak nyangka si lapuk sekarang udah punya istri aja. Kapan akadnya? Nggak bisik-bisik tuh.”
Salah satu teman lamanya juga datang membawa istri dan anak. Ya, Hanif memang terlalu sibuk dengan pekerjaan. Sampai dia kemudian susah sekali mendapatkan pasangan yang memahami kesibukannya. “Abis ini nggak usah sibuk lagi lah. Sayang istri di rumah.” Sambung temannya yang barusan bersalaman dengannya.
“Doain aja yang terbaik bro.”
Hanif merasa ini sangat membahagiakan. “Semangat jadi imam, bro.” “Thanks, ya.”
Banyak sekali teman-temannya Hanif.
Para tamu satu persatu mulai pulang. Dan keluarga besarnya Hanif juga sebagian sudah pulang karena membawa anak kecil. Tadi bahkan Renjana terlihat bingung dengan beberapa orang yang datang di pernikahan mereka dan memang keluarga besar Hanif
“Kita masih ada waktu untuk kenalan sama mereka. Aku tahu kamu bingung sama keluarga aku, kan?”
Jujur saja kalau Hanif tidak pernah merasa paling laku. Namun, dia cukup menjadi buronan di antara beberapa wanita. Dia memang terbilang laki-laki tampan, teduh—pembawaannya tenang dan mudah sekali tersenyum. Banyak yang tergoda oleh senyumnya. Namun siapa sangka dia berjodoh dengan Renjana yang tidak dia kenal sama sekali.
Mereka berdua berniat untuk pulang. Namun orangtua Hanif memaksa mereka berdua bermalam di hotel karena kamar sudah dipesan khusus untuk mereka berdua.
Tidak ada bantal guling
Tidak ada pemisah antara mereka. Hanif malah akan merasa canggung.
Orangtua Renjana dan orangtua Hanif pun berpamitan.
Mereka berdua di antar ke kamar yang s udah dipesan oleh orangtuanya.
Benar saja kalau kamar mereka berdua dihias sedemikian rupa untuk malam pertama. Tapi Hanif? Jangan ditanya dia mati kutu di depan istrinya. Mereka sama-sama mematung melihat kelopak bunga mawar yang sangat banyak di atas kasur. “Hanif.”
Kaku, adalah perasaan pertama yang dirasakan oleh Hanif. “Ada apa, Jana?” dia berusaha setenang mungkin.
“Kita nggak bakalan lakuinnya, kan?”
Belum terjadi, Renjana sudah bertanya duluan. Bagaimana mungkin akan terjadi kalau Hanif saja tidak berani menyentuh Renjana lebih dari cium kening saja.
“Aku mandi duluan, ya.”
Padahal andai saja mandi bareng, tidak akan masalah bukan.
Sayangnya Hanif mana berani mengajak Renjana. Dia juga belum siap. Dan terlebih, dia masih belum berani melihat hal yang belum dia saksikan sama sekali seumur hidupnya—yaitu tubuh seorang wanita yang tanpa busana.
Mereka berdua tidak bisa tidur. Tadi sebelum mereka tidur, keduanya membersihkan kelopak bunga dari atas ranjang mereka. Hanif juga masih terjaga sampai jam satu dini hari. “Jan, kenapa kamu nggak bisa tidur?”
“Nggak tahu.”
“Padahal besok kita harus bangun subuh.” “Hmmm.”
Masih dalam keadaan yang sama.
Hanif juga masih tidak bisa memejamkan matanya. Dia tidur saling membelakangi dengan Renjana. Pengantin bukannya harus sama-sama saling memberi kenyamanan bukan? Tapi Hanif? Jelas dia masih belum bisa melakukan apa pun.
“Jana.”
“Hanif.”
Mereka berbalik bersamaan kemudian kembali kaku lagi. “Kamu duluan, Jana!”
“Kamu duluan.”
Renjana terlihat kaku sekali dengannya. “Aku nggak bisa tidur.” “Sama.”
Tangan Renjana ada di depannya “Boleh aku pegang tangan kamu?”
Renjana berkedip tanpa menyetujui. Kemudian Hanif memegang tangan istrinya lalu mencoba memejamkan matanya agar bisa tertidur.
Menikah seperti sebuah taruhan bagi Hanif. Dia harus siap kalah dan juga berani untuk menang. Kalah dalam arti, dia akan kalah dengan perjanjian untuk pacaran dulu dengan Renjana
Namun jika terus seperti ini, berada di sisi Renjana. Dia jadi tidak yakin kalau dia bisa lama-lama membiarkan Renjana tak tersentuh.
“Jana.”
Renjana yang tadinya menutup mata kemudian membukanya kembali. “Iya?”
Hanif memegang dagu istrinya. “Maaf.” Dia mencium bibir istrinya dengan singkat.
Renjana masih membeku, kemudian dia melanjutkannya lagi.
Hanif tidak ada pengalaman mengenai ciuman. Tapi dia ingat kata saudaranya bahwa seorang pria akan dituntun oleh nalurinya sendiri untuk hal tersebut. Yang jelas mereka harus tetap rileks dan bisa sama-sama tenang menghadapi malam pertama itu.
Sampai Renjana mau membuka mulutnya ketika Hanif pelan-pelan mulai naik ke atas tubuh istrinya. Ia mencium bibir Renjana semakin dalam. Lidah mereka beradu. Sampai Renjana mendorong Hanif. “Aku sesak.” Renjana menarik napas berkali-kali.
“Maaf, ini pertama kalinya buat aku.”
Renjana mengangguk. “Aku juga. Makanya aku nggak bisa atur napas.”
Hanif mengulanginya lagi saat dia mendekatkan wajahnya, Renjana menutup matanya.
Hanif akan percaya bahwa jodoh itu adalah cerminan diri. Ketika dia mampu menjaga diri dari nafsu, dia mendapatkan istri yang juga tidak pernah tersentuh. Meski sudah menjalin hubungan sangat lama
Namun ternyata Renjana tidak pernah punya pengalaman untuk ciuman seperti ini.
Ketika Hanif ingin lebih. Renjana menutup dadanya dan menggeleng “Aku belum siap untuk itu.”
Hanif mengangguk kemudian mencium Renjana lagi.
Beberapa kali mereka melakukannya kemudian Hanif berbaring kembali di dekat Renjana. “Aku tidur sambil peluk kamu, boleh?”
Renjana tersenyum, Hanif juga tersenyum. Karena selain ciuman pertama mereka. Dia bisa memeluk Renjana ketika tidur. Renjana juga membalas pelukan Hanif hingga mereka berdua sama-sama terlelap dalam kehangatan yang sama.
Resepsinya terbilang sangat mewah, meski undangan tidak keseluruhan, tapi ini adalah hari bahagia mereka berdua.
Hanif mengulurkan tangannya menyambut Renjana.
Menjadi raja dan ratu dalam sehari sudah pasti membahagiakan. Apalagi Hanif yang memang ingin menikah satu kali dalam hidupnya. Memiliki istri yang cantik, dan juga meski pilihan orangtua. Tapi dia sudah berjanji akan mencintai Renjana.
Ketika wanita ini masuk ke dalam hidupnya, ia sudah berjanji bukan hanya pada orangtua saja. Tapi juga berjanji pada Tuhan. Artinya dia akan hidup selamanya untuk Renjana
Menyentuh Renjana, mungkin masih belum untuk Hanif. Dia tidak ingin mengagetkan pernikahannya ini dengan keinginannya untuk haknya itu. Tetap saja dia juga canggung pada Renjana. Mereka masih menjalani
tahap pacaran—pacaran setelah menikah. Sungguh dia tidak pernah membayangkan kalau dia akan berjodoh dengan Renjana.
Sekadar mencium kening, mungkin masih tahap wajar bagi Hanif.
Belum menurun ke bibir dan yang lainnya.
Hanif juga sangat memahami keadaan itu. Jangan buru-buru untuk melakukannya. Dia selalu mengingatkan diri sendiri untuk satu hal itu.
Melihat orangtuanya juga bahagia, jelas saja Hanif juga merasa bahagia bisa melihat orangtuanya bisa tersenyum.
Para tamu juga memberikan selamat untuknya. “Nggak nyangka si lapuk sekarang udah punya istri aja. Kapan akadnya? Nggak bisik-bisik tuh.”
Salah satu teman lamanya juga datang membawa istri dan anak. Ya, Hanif memang terlalu sibuk dengan pekerjaan. Sampai dia kemudian susah sekali mendapatkan pasangan yang memahami kesibukannya. “Abis ini nggak usah sibuk lagi lah. Sayang istri di rumah.” Sambung temannya yang barusan bersalaman dengannya.
“Doain aja yang terbaik bro.”
Hanif merasa ini sangat membahagiakan. “Semangat jadi imam, bro.” “Thanks, ya.”
Banyak sekali teman-temannya Hanif.
Para tamu satu persatu mulai pulang. Dan keluarga besarnya Hanif juga sebagian sudah pulang karena membawa anak kecil. Tadi bahkan Renjana terlihat bingung dengan beberapa orang yang datang di pernikahan mereka dan memang keluarga besar Hanif
“Kita masih ada waktu untuk kenalan sama mereka. Aku tahu kamu bingung sama keluarga aku, kan?”
Jujur saja kalau Hanif tidak pernah merasa paling laku. Namun, dia cukup menjadi buronan di antara beberapa wanita. Dia memang terbilang laki-laki tampan, teduh—pembawaannya tenang dan mudah sekali tersenyum. Banyak yang tergoda oleh senyumnya. Namun siapa sangka dia berjodoh dengan Renjana yang tidak dia kenal sama sekali.
Mereka berdua berniat untuk pulang. Namun orangtua Hanif memaksa mereka berdua bermalam di hotel karena kamar sudah dipesan khusus untuk mereka berdua.
Tidak ada bantal guling
Tidak ada pemisah antara mereka. Hanif malah akan merasa canggung.
Orangtua Renjana dan orangtua Hanif pun berpamitan.
Mereka berdua di antar ke kamar yang s udah dipesan oleh orangtuanya.
Benar saja kalau kamar mereka berdua dihias sedemikian rupa untuk malam pertama. Tapi Hanif? Jangan ditanya dia mati kutu di depan istrinya. Mereka sama-sama mematung melihat kelopak bunga mawar yang sangat banyak di atas kasur. “Hanif.”
Kaku, adalah perasaan pertama yang dirasakan oleh Hanif. “Ada apa, Jana?” dia berusaha setenang mungkin.
“Kita nggak bakalan lakuinnya, kan?”
Belum terjadi, Renjana sudah bertanya duluan. Bagaimana mungkin akan terjadi kalau Hanif saja tidak berani menyentuh Renjana lebih dari cium kening saja.
“Aku mandi duluan, ya.”
Padahal andai saja mandi bareng, tidak akan masalah bukan.
Sayangnya Hanif mana berani mengajak Renjana. Dia juga belum siap. Dan terlebih, dia masih belum berani melihat hal yang belum dia saksikan sama sekali seumur hidupnya—yaitu tubuh seorang wanita yang tanpa busana.
Mereka berdua tidak bisa tidur. Tadi sebelum mereka tidur, keduanya membersihkan kelopak bunga dari atas ranjang mereka. Hanif juga masih terjaga sampai jam satu dini hari. “Jan, kenapa kamu nggak bisa tidur?”
“Nggak tahu.”
“Padahal besok kita harus bangun subuh.” “Hmmm.”
Masih dalam keadaan yang sama.
Hanif juga masih tidak bisa memejamkan matanya. Dia tidur saling membelakangi dengan Renjana. Pengantin bukannya harus sama-sama saling memberi kenyamanan bukan? Tapi Hanif? Jelas dia masih belum bisa melakukan apa pun.
“Jana.”
“Hanif.”
Mereka berbalik bersamaan kemudian kembali kaku lagi. “Kamu duluan, Jana!”
“Kamu duluan.”
Renjana terlihat kaku sekali dengannya. “Aku nggak bisa tidur.” “Sama.”
Tangan Renjana ada di depannya “Boleh aku pegang tangan kamu?”
Renjana berkedip tanpa menyetujui. Kemudian Hanif memegang tangan istrinya lalu mencoba memejamkan matanya agar bisa tertidur.
Menikah seperti sebuah taruhan bagi Hanif. Dia harus siap kalah dan juga berani untuk menang. Kalah dalam arti, dia akan kalah dengan perjanjian untuk pacaran dulu dengan Renjana
Namun jika terus seperti ini, berada di sisi Renjana. Dia jadi tidak yakin kalau dia bisa lama-lama membiarkan Renjana tak tersentuh.
“Jana.”
Renjana yang tadinya menutup mata kemudian membukanya kembali. “Iya?”
Hanif memegang dagu istrinya. “Maaf.” Dia mencium bibir istrinya dengan singkat.
Renjana masih membeku, kemudian dia melanjutkannya lagi.
Hanif tidak ada pengalaman mengenai ciuman. Tapi dia ingat kata saudaranya bahwa seorang pria akan dituntun oleh nalurinya sendiri untuk hal tersebut. Yang jelas mereka harus tetap rileks dan bisa sama-sama tenang menghadapi malam pertama itu.
Sampai Renjana mau membuka mulutnya ketika Hanif pelan-pelan mulai naik ke atas tubuh istrinya. Ia mencium bibir Renjana semakin dalam. Lidah mereka beradu. Sampai Renjana mendorong Hanif. “Aku sesak.” Renjana menarik napas berkali-kali.
“Maaf, ini pertama kalinya buat aku.”
Renjana mengangguk. “Aku juga. Makanya aku nggak bisa atur napas.”
Hanif mengulanginya lagi saat dia mendekatkan wajahnya, Renjana menutup matanya.
Hanif akan percaya bahwa jodoh itu adalah cerminan diri. Ketika dia mampu menjaga diri dari nafsu, dia mendapatkan istri yang juga tidak pernah tersentuh. Meski sudah menjalin hubungan sangat lama
Namun ternyata Renjana tidak pernah punya pengalaman untuk ciuman seperti ini.
Ketika Hanif ingin lebih. Renjana menutup dadanya dan menggeleng “Aku belum siap untuk itu.”
Hanif mengangguk kemudian mencium Renjana lagi.
Beberapa kali mereka melakukannya kemudian Hanif berbaring kembali di dekat Renjana. “Aku tidur sambil peluk kamu, boleh?”
Renjana tersenyum, Hanif juga tersenyum. Karena selain ciuman pertama mereka. Dia bisa memeluk Renjana ketika tidur. Renjana juga membalas pelukan Hanif hingga mereka berdua sama-sama terlelap dalam kehangatan yang sama.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved