Bab 7 Mengulangi Trik yang Sama
by Toms Lee
08:01,Aug 24,2023
“Kampungan, dengar tidak? Berikan kartu bank itu pada Kak Inara!”
Quin datang dengan cemberut dan memberi perintah.
Atta menggaruk kepala dengan heran. Uang pemberian Kakek Liang padanya bisa ditagih kembali?
“Dasar kampungan tidak tahu diri! Memangnya kamu berhak mengambil uang itu?” tukas Quin.
Atta tidak punya pilihan selain menyerahkan kartu bank itu. Quin langsung menyambar kartu bank itu dan memberikannya ke tangan Inara.
Lalu, Inara menyodorkan sebuah amplop yang berisi tebal kepada Atta dan berkata, “Atta, isinya ada tiga puluh ribu Yuan. Ini adalah bayaranmu, sekaligus tanda terima kasih karena kamu telah menyelamatkan kakekku.”
“Wah! Kak Inara, kamu murah hati sekali! Dia berhasil menyelamatkan kakek hanya karena sekadar beruntung. Kenapa kamu memberinya uang sebanyak itu? Kalau kubilang, cukup diberi ratusan Yuan saja,” kritik Quin dengan cemberut.
Atta melirik amplop itu sekilas dan menjawab dengan cuek, “Kamu hanya perlu membayarku sepuluh ribu Yuan. Itu adalah bayaranku. Tapi aku menyelamatkan kakekmu secara tulus dan sukarela. Aku tidak akan meminta bayaran untuk itu.”
“Serius? Orang tamak sepertimu malah tidak menginginkan uang?” tanya Quin dengan mata membelalak karena kaget.
Inara juga terkejut. Lalu, dia bertanya, “Kamu merasa kurang?”
“Hehe, aku memang suka uang, tapi Jason bilang orang yang baik harus memperoleh uang dengan cara lalal. Aku akan mengambil uang yang seharusnya kuterima, tapi tidak akan pernah mengambil uang haram,” jawab Atta dengan tegas.
“Lalu, kenapa kamu mengambil kartu bank pemberian kakekku?” Inara memelototinya.
Atta tidak bisa berkata-kata. Lalu, dia berdeham canggung dan berujar, “Itu … tidak sama.”
“Jangan basa-basi lagi! Ambil saja!”
Inara langsung pergi setelah menaruh amplop itu ke tangan Atta.
Sementara itu, Quin memutar matanya pada Atta dan berujar, “Kamu beruntung.” Dia segera menyusul kakak sepupunya.
Ketika Inara hendak pergi, seorang wanita tua mencegatnya dan berkata dengan nada dingin, “Nona Besar Inara, ke mana kamu pergi?”
Wanita tua itu adalah pelayan Keluarga Liang dan pembantu pribadi Kakek Liang, Bibi Rani.
“Rani, aku mau pulang,” jawab Inara.
“Pulanglah bersama Tuan Atta,” ucap Bibi Rani dengan nada datar.
“Tuan Atta?” Inara bertanya dengan heran, “Ehm, kenapa aku harus pulang bersamanya?”
“Tuan Besar memberi perintah bahwa Nona Besar Inara harus pulang bersama Tuan Atta malam ini!”
“Kalau aku tidak mau?” Wajah Inara menjadi masam.
“Tuan Besar juga sudah berpesan. Kalau Nona Besar Inara tidak mau, beliau akan mencabut posisimu sebagai presdir dan mengusirmu dari Keluarga Liang,” jawab Bibi Rani dengan nada datar.
Jantung Inara berkedut-kedut karena marah. Kakek memaksanya untuk hidup bersama dengan Atta!
Atta hanyalah figuran!
Inara pun mencibir dalam hati. Aku akan meninggalkan Atta di tengah jalan dan kakek tidak akan pernah tahu.
“Baik, Bibi Rani. Aku mengerti. Atta, ikut aku. Aku akan membawamu pulang.” Inara menoleh pada Atta sambil tersenyum.
Pikiran cabul melintas di benak Atta ketika dia mendengar Inara benar-benar ingin membawanya pulang untuk hidup bersama. Dia segera mengangguk.
Quin berseru dengan kaget, “Kak Inara, kamu benar-benar ingin membawa kampungan ini pulang?”
“Quin, jangan omong kosong. Bagaimanapun, Atta adalah … calon suamiku. Wajar kalau aku membawanya pulang. Bibi Rani, kamu pulang saja. Aku akan membawa Atta pulang,” ujar Inara.
Namun, Bibi Rani menggeleng dan berucap, “Tuan Besar memintaku untuk pulang bersama kalian. Aku harus melihat Nona Besar Inara membawa Tuan Atta ke vilamu.”
Inara tidak bisa berkata-kata.
Dia bahkan sedikit frustrasi.
Dia berencana untuk meninggalkan Atta di tengah jalan, tetapi dia tidak menyangka kakek akan mengulangi trik yang sama.
“Bibi Rani, jangan khawatir. Aku pasti akan membawa Atta pulang. Tidak perlu merepotkanmu,” jawab Inara sambil tersenyum.
“Tidak bisa! Aku tidak berani membangkang perintah Tuan Besar!” kata Bibi Rani dengan tegas.
Inara pun kehabisan akal.
Di samping, Atta sibuk mengusap hidungnya, tetapi dia diam-diam bergembira dalam hati. Kelihatannya Kakek Liang benar-benar menyukainya. Jika tidak, Kakek Liang tidak akan mengutus seorang pelayan untuk memantau dan memaksa Inara membawanya pulang untuk … hidup bersama.
“Baiklah! Ayo kita pergi!”
Inara hanya bisa pasrah pada keadaan.
“Kak Inara, aku ikut.”
Quin buru-buru mengikuti Inara. Dia berpikir dalam hati, jika kakek memaksa Atta dan Kak Inara untuk hidup bersama, dia harus mengikuti mereka untuk mengantisipasi Atta melakukan hal menyimpang pada Kak Inara!
Kampungan itu tamak dan genit, jelas adalah bajingan!
Inara dan Quin langsung pergi.
Lalu, Bibi Rani mempersilakan Atta dengan gestur tangan. “Tuan Atta, mari.”
“Baik,” sahut Atta.
Dia diam-diam bergembira dalam hati. Beberapa hari yang lalu, dia terpaksa harus menginap di hotel kecil dengan harga kamar empat puluh Yuan per malam karena tidak punya tempat tinggal. Malam ini, dia dapat menikmati malam kemesraan dengan Inara ….
Pemikiran ini sangat menyenangkan bagi Atta.
Inara dan Quin sudah masuk ke mobil ketika Atta dan Bibi Rani tiba. Mereka juga masuk ke mobil.
Mobil pun melaju menuju vila Inara.
Suasana hati Inara sangat kacau. Situasi ini berada di luar dugaannya!
Figuran yang asal dicarinya malah disukai oleh kakek. Kakek bahkan memaksanya untuk menikah dengan figuran itu dan “kumpul kebo” ….
Quin juga mencemaskan kakak sepupunya.
Menurutnya, bagaimana mungkin kampungan yang tamak dan genit seperti Atta sepadan dengan kakak sepupunya yang cantik dan menawan?
Quin menoleh pada Atta dari kursi penumpang depan. Dia tidak bisa mengusir Atta secara langsung karena kehadiran Bibi Rani si Penjaga. Dia tidak boleh membocorkan identitas asli Atta sebagai figuran. Jika tidak, Kak Inara akan berada dalam situasi sulit dan kesusahan di Keluarga Liang.
Hal yang paling membuat Quin marah adalah Atta si Kampungan itu tebal muka dan tidak tahu diri. Ketika diminta untuk pulang bersama Kak Inara, si Kampungan itu benar-benar ikut!
Alangkah baiknya jika si Kampungan itu pandai membaca situasi dan segera pergi dengan alasan ada urusan lain!
“Omong-omong, Tuan Atta, Tuan Besar memintaku untuk menanyakan apa profesimu.”
Bibi Rani yang duduk bergeming selama separuh perjalanan tiba-tiba bertanya.
Inara menegang ketika Bibi Rani menanyai Atta. Dia takut Atta akan keceplosan.
“Bibi Rani, aku ….”
Ketika Atta tergagap, Inara buru-buru menyela, “Bibi Rani, Atta sebenarnya adalah manajer pemasaran di sebuah perusahaan.”
Bibi Rani mengangguk sembari mengamati penampilan luar Atta. Kemudian, dia bertanya lagi, “Bukankah manajer pemasaran seharusnya berpakaian formal? Kenapa Tuan Atta berpakaian secara … sederhana?”
“ … oh! Atta … adalah manajer pemasaran pabrik pakan babi. Dia sering berinteraksi dengan para petani sehingga dia harus berpakaian secara sederhana,” jawab Inara yang tiba-tiba mendapat ide.
“Ppff!”
Quin yang duduk di kursi penumpang depan langsung terkekeh-kekeh.
Atta pun kesal dalam hati. Mengapa identitasnya berubah dari dokter terhebat kedua di Desa G menjadi penjual pakan babi?
Bibi Rani mengangguk dan bertanya lagi, “Lalu, kenapa Tuan Atta begitu lihai dalam ilmu pengobatan?”
“Karena, karena ….” Inara buru-buru menjawab, “Atta menjual pakan babi, ‘kan? Dia sebenarnya … juga bisa menyembuhkan babi-babi. Dia adalah dokter hewan!”
“Ppff!”
Quin terkikik-kikik lagi.
Seketika, Atta berubah dari penjual pakan babi menjadi dokter hewan.
Sungguh konyol.
Quin datang dengan cemberut dan memberi perintah.
Atta menggaruk kepala dengan heran. Uang pemberian Kakek Liang padanya bisa ditagih kembali?
“Dasar kampungan tidak tahu diri! Memangnya kamu berhak mengambil uang itu?” tukas Quin.
Atta tidak punya pilihan selain menyerahkan kartu bank itu. Quin langsung menyambar kartu bank itu dan memberikannya ke tangan Inara.
Lalu, Inara menyodorkan sebuah amplop yang berisi tebal kepada Atta dan berkata, “Atta, isinya ada tiga puluh ribu Yuan. Ini adalah bayaranmu, sekaligus tanda terima kasih karena kamu telah menyelamatkan kakekku.”
“Wah! Kak Inara, kamu murah hati sekali! Dia berhasil menyelamatkan kakek hanya karena sekadar beruntung. Kenapa kamu memberinya uang sebanyak itu? Kalau kubilang, cukup diberi ratusan Yuan saja,” kritik Quin dengan cemberut.
Atta melirik amplop itu sekilas dan menjawab dengan cuek, “Kamu hanya perlu membayarku sepuluh ribu Yuan. Itu adalah bayaranku. Tapi aku menyelamatkan kakekmu secara tulus dan sukarela. Aku tidak akan meminta bayaran untuk itu.”
“Serius? Orang tamak sepertimu malah tidak menginginkan uang?” tanya Quin dengan mata membelalak karena kaget.
Inara juga terkejut. Lalu, dia bertanya, “Kamu merasa kurang?”
“Hehe, aku memang suka uang, tapi Jason bilang orang yang baik harus memperoleh uang dengan cara lalal. Aku akan mengambil uang yang seharusnya kuterima, tapi tidak akan pernah mengambil uang haram,” jawab Atta dengan tegas.
“Lalu, kenapa kamu mengambil kartu bank pemberian kakekku?” Inara memelototinya.
Atta tidak bisa berkata-kata. Lalu, dia berdeham canggung dan berujar, “Itu … tidak sama.”
“Jangan basa-basi lagi! Ambil saja!”
Inara langsung pergi setelah menaruh amplop itu ke tangan Atta.
Sementara itu, Quin memutar matanya pada Atta dan berujar, “Kamu beruntung.” Dia segera menyusul kakak sepupunya.
Ketika Inara hendak pergi, seorang wanita tua mencegatnya dan berkata dengan nada dingin, “Nona Besar Inara, ke mana kamu pergi?”
Wanita tua itu adalah pelayan Keluarga Liang dan pembantu pribadi Kakek Liang, Bibi Rani.
“Rani, aku mau pulang,” jawab Inara.
“Pulanglah bersama Tuan Atta,” ucap Bibi Rani dengan nada datar.
“Tuan Atta?” Inara bertanya dengan heran, “Ehm, kenapa aku harus pulang bersamanya?”
“Tuan Besar memberi perintah bahwa Nona Besar Inara harus pulang bersama Tuan Atta malam ini!”
“Kalau aku tidak mau?” Wajah Inara menjadi masam.
“Tuan Besar juga sudah berpesan. Kalau Nona Besar Inara tidak mau, beliau akan mencabut posisimu sebagai presdir dan mengusirmu dari Keluarga Liang,” jawab Bibi Rani dengan nada datar.
Jantung Inara berkedut-kedut karena marah. Kakek memaksanya untuk hidup bersama dengan Atta!
Atta hanyalah figuran!
Inara pun mencibir dalam hati. Aku akan meninggalkan Atta di tengah jalan dan kakek tidak akan pernah tahu.
“Baik, Bibi Rani. Aku mengerti. Atta, ikut aku. Aku akan membawamu pulang.” Inara menoleh pada Atta sambil tersenyum.
Pikiran cabul melintas di benak Atta ketika dia mendengar Inara benar-benar ingin membawanya pulang untuk hidup bersama. Dia segera mengangguk.
Quin berseru dengan kaget, “Kak Inara, kamu benar-benar ingin membawa kampungan ini pulang?”
“Quin, jangan omong kosong. Bagaimanapun, Atta adalah … calon suamiku. Wajar kalau aku membawanya pulang. Bibi Rani, kamu pulang saja. Aku akan membawa Atta pulang,” ujar Inara.
Namun, Bibi Rani menggeleng dan berucap, “Tuan Besar memintaku untuk pulang bersama kalian. Aku harus melihat Nona Besar Inara membawa Tuan Atta ke vilamu.”
Inara tidak bisa berkata-kata.
Dia bahkan sedikit frustrasi.
Dia berencana untuk meninggalkan Atta di tengah jalan, tetapi dia tidak menyangka kakek akan mengulangi trik yang sama.
“Bibi Rani, jangan khawatir. Aku pasti akan membawa Atta pulang. Tidak perlu merepotkanmu,” jawab Inara sambil tersenyum.
“Tidak bisa! Aku tidak berani membangkang perintah Tuan Besar!” kata Bibi Rani dengan tegas.
Inara pun kehabisan akal.
Di samping, Atta sibuk mengusap hidungnya, tetapi dia diam-diam bergembira dalam hati. Kelihatannya Kakek Liang benar-benar menyukainya. Jika tidak, Kakek Liang tidak akan mengutus seorang pelayan untuk memantau dan memaksa Inara membawanya pulang untuk … hidup bersama.
“Baiklah! Ayo kita pergi!”
Inara hanya bisa pasrah pada keadaan.
“Kak Inara, aku ikut.”
Quin buru-buru mengikuti Inara. Dia berpikir dalam hati, jika kakek memaksa Atta dan Kak Inara untuk hidup bersama, dia harus mengikuti mereka untuk mengantisipasi Atta melakukan hal menyimpang pada Kak Inara!
Kampungan itu tamak dan genit, jelas adalah bajingan!
Inara dan Quin langsung pergi.
Lalu, Bibi Rani mempersilakan Atta dengan gestur tangan. “Tuan Atta, mari.”
“Baik,” sahut Atta.
Dia diam-diam bergembira dalam hati. Beberapa hari yang lalu, dia terpaksa harus menginap di hotel kecil dengan harga kamar empat puluh Yuan per malam karena tidak punya tempat tinggal. Malam ini, dia dapat menikmati malam kemesraan dengan Inara ….
Pemikiran ini sangat menyenangkan bagi Atta.
Inara dan Quin sudah masuk ke mobil ketika Atta dan Bibi Rani tiba. Mereka juga masuk ke mobil.
Mobil pun melaju menuju vila Inara.
Suasana hati Inara sangat kacau. Situasi ini berada di luar dugaannya!
Figuran yang asal dicarinya malah disukai oleh kakek. Kakek bahkan memaksanya untuk menikah dengan figuran itu dan “kumpul kebo” ….
Quin juga mencemaskan kakak sepupunya.
Menurutnya, bagaimana mungkin kampungan yang tamak dan genit seperti Atta sepadan dengan kakak sepupunya yang cantik dan menawan?
Quin menoleh pada Atta dari kursi penumpang depan. Dia tidak bisa mengusir Atta secara langsung karena kehadiran Bibi Rani si Penjaga. Dia tidak boleh membocorkan identitas asli Atta sebagai figuran. Jika tidak, Kak Inara akan berada dalam situasi sulit dan kesusahan di Keluarga Liang.
Hal yang paling membuat Quin marah adalah Atta si Kampungan itu tebal muka dan tidak tahu diri. Ketika diminta untuk pulang bersama Kak Inara, si Kampungan itu benar-benar ikut!
Alangkah baiknya jika si Kampungan itu pandai membaca situasi dan segera pergi dengan alasan ada urusan lain!
“Omong-omong, Tuan Atta, Tuan Besar memintaku untuk menanyakan apa profesimu.”
Bibi Rani yang duduk bergeming selama separuh perjalanan tiba-tiba bertanya.
Inara menegang ketika Bibi Rani menanyai Atta. Dia takut Atta akan keceplosan.
“Bibi Rani, aku ….”
Ketika Atta tergagap, Inara buru-buru menyela, “Bibi Rani, Atta sebenarnya adalah manajer pemasaran di sebuah perusahaan.”
Bibi Rani mengangguk sembari mengamati penampilan luar Atta. Kemudian, dia bertanya lagi, “Bukankah manajer pemasaran seharusnya berpakaian formal? Kenapa Tuan Atta berpakaian secara … sederhana?”
“ … oh! Atta … adalah manajer pemasaran pabrik pakan babi. Dia sering berinteraksi dengan para petani sehingga dia harus berpakaian secara sederhana,” jawab Inara yang tiba-tiba mendapat ide.
“Ppff!”
Quin yang duduk di kursi penumpang depan langsung terkekeh-kekeh.
Atta pun kesal dalam hati. Mengapa identitasnya berubah dari dokter terhebat kedua di Desa G menjadi penjual pakan babi?
Bibi Rani mengangguk dan bertanya lagi, “Lalu, kenapa Tuan Atta begitu lihai dalam ilmu pengobatan?”
“Karena, karena ….” Inara buru-buru menjawab, “Atta menjual pakan babi, ‘kan? Dia sebenarnya … juga bisa menyembuhkan babi-babi. Dia adalah dokter hewan!”
“Ppff!”
Quin terkikik-kikik lagi.
Seketika, Atta berubah dari penjual pakan babi menjadi dokter hewan.
Sungguh konyol.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved